Minggu, Juni 08, 2008

Toleransi, Senjata Pemusnah Massal Milik Kuffar


oleh Shaykh Dr. Abdalqadir as-Sufi

Toleransi adalah 1. Dapat menerima suatu kejadian 2. Tindakan menerima sesuatu atau sesorang yang menganggu atau berperilaku tidak menyenangkan pada seseorang.

Di Jakarta pada akhir Februari 2004 lalu, diselenggarakan sebuah konferensi yang konon-disebut Konferensi Internasional Ulama Islam, dengan sub-judul "guna mengangkat prinsip-prinsip islam." Kami sudah memaparkan dalam tulisan-tulisan sebelumnya bahwa kuffar kini sedang mendalangi dialektika, yang mana hasilnya akan sama saja dari sudut pandang yang manapun, yaitu hasil yang mereka inginkan. Dialektika ini telah kita namakan sebagai Politik Isma'ili, dan adalah penyimpangan yang ke luar dari Islam, yang pas sekali dengan keadaan zaman sekarang. Teorinya adalah untuk membiarkan serangkaian aksi teror yang begitu mengerikan terjadi hingga pihak yang dituduh melaksanakannya, baik karena letih maupun benci, digiring kepada kebalikannya. Kemudian antitesanya ditawarkan kepada komunitas yang kini merasa bersalah dan malu. Solusi yang timbul yang konon dipaparkan sebagai 'ketertiban setelah kekacuan', dan sebagai 'keadilan setelah ketidak-adilan', adalah 'Toleransi'. Lebih baik bagi kita untuk menggunakan istilah tersebut dalam bentuk tulisan Perancis, yaitu Tolerance, karena istilah itu dilahirkan dengan sengaja sebagai salah satu alat kekuasaan dalam rangka pendirian negara ateis segera setelah Revolusi Perancis. Doktrin ini sebenarnya sangat tak masuk akal karena buktinya adalah kebalikannya. Jika kita amati dengan seksama jelaslah alat kekuasaan ini dibidik kepada sekelompok guna mengubah mereka agar tunduk pada tatanan moral kelompok lawannya. Dengan kata lain, mengandung dinamika satu arah. Maksud kami adalah bahwa doktrin Tolerance memaksa kelompok yang dituduhnya untuk "Toleransilah pada kita!" Terkandung di dalamnya adalah mustahilnya berlaku timbal-balik dari kelompok yang meminta ditolerir. Ini harus digarisbawahi. "Kalian harus mentolerir kita — tapi situasi anda tak bisa diltolerir karena kalian mencoba menekan kita dengan teror."

Apa yang kemudian berlaku dari proses Tolerance ini adalah hasil yang diinginkan, yaitu dihapusnya komunitas yang bersalah, apakah melalui pemusnahan dengan cara melakukan perang 'keadilan' atas mereka —yaitu perang melawan teror— maupun melalui asimilasi total pihak tertuduh alhasil sirnalah etos yang disidik melalui dialektika ini

Dari sudut pandang materialis, sesumbar mereka mengenai Perang atas Teror sebenarnya sangat menarik karena satu komunitas, dengan dukungan antek-anteknya, bersedia untuk menggelarkan semua persenjataan teknologi mereka guna memerangi musuh-musuh mereka, sampai kepada seluruh kekuatan polisi rahasia internasional mereka, bahkan hingga ditariknya kembali protokol-protokol kebebasan madani hasil jerih-payah mereka sendiri. Di sisi lain para teroris hanya memiliki badan-badan mereka sendiri yang sedia mereka korbankan dalam arena musuh mereka, yang kemudian berakibat ditimpanya komunitas mereka sendiri dengan bencana hasil bunuh-diri itu.

Tak bisa dipungkiri bahwa dari sudut Islam, seorang Muslim yang melakukan bunuh diri akan dijerumuskan kedalam Api (naarul-jahannam). Andai kita berbalik kepada penerapan doktrin politik Tolerance kita akan menghadapi masalah yang lebih parah lagi. Dipegangnya doktrin ini, dakwahnya doktrin ini, dukungan atas doktrin ini, mengajak pihak lain pada doktrin ini, adalah program kafir di zaman ini untuk menghapuskan Islam. Ideologi yang dikumandangkan oleh Nazi adalah "Kirche, Küche und Kinder" (Gereja, Dapur dan Anak-anak), sebuah program yang nampak damai dan "menjunjung kehidupan", sementara penerapan program manis ini berarti harus segera menghapus segolongan ras manusia yang mereka anggap tak mendukung ideologi ini. Melihat rencana dan pelaksanaan yang sudah berjalan dari program genosida (pemusnahan massal) atas Muslimin, Tolerance mirip dengan ideologi Nazi itu.

Alhasil tak seorangpun boleh dibiarkan memasuki dialektika kuffar. Dengan demikian dari sudut pandang Islam penolakan atas Tolerance tak terpisahkan dengan penolakan atas terorisme. Masalah terorisme adalah masalah mereka, karena kita Ummat Dunia bukanlah pelakunya, apalagi sebagian dari aksi teror dipicu oleh mereka sendiri dengan terus menggunakan agen-agen provokator mereka. Sebaliknya, Tolerance adalah masalah kita dan keteguhan kita untuk menolaknya haruslah sempurna. Jika kita tak acuh pada peringatan ini, masa depan setiap masyarakat Muslim adalah menjadi seruntun Cagar-Muslim Nasional, terusir dari segenap lingkaran kekayaan, perdagangan dan kedamaian. Komunitas Arab-Palestina yang kini hampir putus dari pendidikan Islam yang benar, tentu salah telak jika mereka kira dinding Israel ada kemiripan dengan dinding Berlin, karena dinding Berlin hanyalah pembatas antara dua masyarakat musuh yang pada intinya sama saja. Namun, sebenarnya sama dengan situasi di Pale yang mendorong para yahudi memasuki kawasan payau Polandia demi 'bersih'-nya zona masyarakat Rusia.

Kini mari kita amati dengan seksama Konferensi Jakarta. Jika ada setitikpun keraguan kita atas kuatnya komitmen kafir pada Doktrin Tolerance, maka Konferensi Jakarta dapat diacungkan sebagai bukti kuat atas sampai mana kemajuan dan kerjasama kuffar pada gerakan ini. Presiden Megawati Sukarnoputri yang tak dikenal dengan ketajaman intelektualnya, dalam pidato pembukanya di acara tersebut, dalam waktu singkat sudah mengutarakan doktrin kembarannya kuffar, yaitu Hak-hak Asasi Manusia - HAM (bacalah pidato pentingnya Hajj Abu Bakr Rieger, Rais Gerakan Dakwah se-Dunia Murabitun, sebagaimana ia sampaikan di Konferensi Fiqh Internasional di Pretoria pada Oktober 2003, tersedia di website ini). Belum lagi desahan dan gumaman Presiden Megawati yang hampir tak kentara mengenai masuknya AS ke dalam Iraq, tak selantang perlawanan Menteri Luar Negeri Perancis, yang didasari dengan hukum internasional.

Allah Ta'Ala mengatakan dalam surat Ibrahim (14:52 dalam riwayat Warsy):

(Al-Quran) ini adalah penjelasan yang cukup bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengannya, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran.

Jadi, jika kita melihat tafsir sahih ayat-ayat Quran di atas hingga ke Sunnah Rasulullah Salallaahu 'Alaihi Wasallaam, mengenai apa itu Diinul-Islam, maka akan berdampak politik yang sangat dalam. Tak ada lagi yang lebih layak untuk mengutuk Konferensi Jakarta ini selain dengan menunjukkan bahwa landasan kesombongan dalam deklarasi-deklarasinya berakibat kita menolak keberadaan Rasul kita yang tercinta, Salallaahu 'Alaihi Wasallaam.

Butir pertama Deklarasi Jakarta jelas sekali merupakan persiapan perpindahan dari Islam ke Tolérance yang bertuhan esa. Deklarasi tersebut menyerukan segenap Muslim untuk "menjunjung tinggi kedamaian, keadilan, kebebasan/kemerdekaan, kemoderatan, toleransi, stabilitas, musyawarah, dan persamaan hak, sebagai landasan asasi kehidupan manusia." Tentu saja itu sama saja dengan doktrin-nya konstitusi AS, yang berbasis ateis-humanis dan yang juga mengakibatkan bendera mereka berkibar ketika mereka maju menindas dan membunuh-massal suku-suku Amerika asli dari suku Navajo hingga Sioux dll, bahkan sampai sangat antusias ketika dengan Senjata Pemusnah Massal mereka, meluluh-lantakkan Hiroshima dan Nagasaki. Maka dari itu jika para pengusung Deklarasi Jakarta manut pada doktrin-doktrin ini, tentu saja merekalah yang akan jadi korban berikutnya.

Syekh Ahmad ibn al-Bashir al-Qalaawi ash-Shinqueeti Dalam maha-karyanya, 'Islam dalam Madzhab Madinah', menulis:

"Syekh Abu'l-Qasim Abd al-Jalil al-Qasri mengatakan mengenai 'Aqidah: 'Kalian lihatlah [orang-orang] yang sombong dan berlebih-lebihan, memandang rendah pada orang lain dan membenci mereka. Ketika orang sedemikian ditanya, "Apakah kewajiban utama? Di mata Fiqh/hukum, kapankah seseorang bertanggungjawab penuh? Apa buktinya bahwa jalan seseorang adalah jalan yang benar? Dan apakah kedzaliman yang harus dihindari sesiapapun?" — ia akan bungkam sepi bak kuburan dan lebih takut dibanding seekor hewan yang terkena perangkap. Himmah-nya yang tadinya tinggi tiba-tiba menciut jadi nihil, dan semua hal dalam nafsunya yang tadinya seperti berkuasa, berbobot dan penting, tiba-tiba tunduk. Ia menjadi tawanan ketakutan dan bungkamnya sendiri. Camkanlah bencana yang menimpanya! Camkanlah kerugian yang dideritanya!'

Aku mengatakan: 'Andaikan ia memperhatikan bencana yang menimpanya di dunia, dan ingat bahwa ketika ia wafat di (alam) kubur akan ada pertanyaan-pertanyaan Munkar dan Nakir mengenai tauhid; dan kengerian alam berikutnya akan dialami setiap manusia — yang mana tak satupun dapat selamat kecuali mereka-mereka yang telah diberkati Allah dengan ilmu bermanfaat mengenai Allah; dan bahwa yang Haq dan Bathil akan dipisahkan; dan bagaimana segala sesuatu yang tersembunyi yang berasal dari kejahiliyahan Diin akan terbuka nyata; dan bagaimana yang sombong dan berlebih-lebihan, karena berpaling dari tauhid dan karena menyibukkan diri mereka dengan apa yang tak menyangkut mereka, hanya akan menuai sesal dari apa yang mereka tanamkan di dunia ini; dan bahwa semua kesedihan dan penyesalan pada masa itu tak akan menghasilkan apa-apa.”

Ayat ketiga dalam Deklarasi Jakarta adalah, "Untuk menerima perbedaan budaya dan kemasyarakatan setiap individu sebagai rahmat dari Allah."
Itu adalah penolakan mentah yang disengaja terhadap pembeda dan fruqan yang Allah Azza Wa Jalla telah landaskan dalam Quran-Nya. Dan salah satu nama Quran adalah 'al-Furqan' (pembeda). Ayat di atas yang memuat istilah-istilah 'individu', 'kebudayaan' dan 'kemasyarakatan', adalah bahasa dan kosa-kata sosiologi, sebuah ilmu jejadian, dengan demikian para pembicara di Konferensi itu adalah para sosiolog atau para akademisi, bukan fuqaha . Dalam Surat at-Taubah (9:67-68 riwayat warsy), Allah Ta'Ala berkata:

Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan. sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma'ruf dan mereka menggenggamkan tangannya. Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasik. Allah mengancam orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang kafir dengan api Jahannam, mereka kekal di dalamnya. Cukuplah neraka itu bagi mereka, dan Allah mela'nati mereka, dan bagi mereka azab yang kekal. Selanjutnya dalam surat yang sama (ayat71-73): Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan RasulNya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di taman 'Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar;itu adalah keberuntungan yang besar. Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah jahannam. Dan itu adalah tempat kembali yang seburuk-buruknya.

Dalam ayat keempat kita mencapai jantung hutan belantara kejahiliyahan: "Untuk sekali lagi mendifinisikan pengajaran Islam sebagai landasan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan untuk mendukung prinsip-prinsip kebersamaan bagi setiap individu, untuk memupuk hubungan harmonis antar agama dalam skala internasional." Setelah membaca itu semua muslim harus tahu bahwa mereka telah ditipu dalam Deen mereka. Doktrin kafir dalam ayat keempat tadi didukung oleh ayat 5 berikut: "Untuk mendukung penuh dalam pembentukan dialog antar-agama yang konstruktif sebagai landasan saling menghormati dan saling memahami."

Dari sudut Islam yang Sahih, masalah di atas dijelaskan dalam perintah-perintah dan larangan-larangan di dalam Surat at-Taubah (9:29-33). Allah Subhanahu wa Ta'Ala mengatakan:

Perangilah orang-orang ahli kitab yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak ber-Deen dengan Deen yang benar, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. Orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putera Allah" dan orang Nasrani berkata: "al Masih itu putera Allah". Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Allah memerangi mereka , betapa sesatnya mereka! Mereka menjadikan rabbi-rabbi (yahudi) dan rahib-rahib (kristen) mereka sebagai tuhan selain Allah dan (begitu pula) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan selain Dia! Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Mereka berkehendak memadamkan Cahaya Allah dengan mulut mereka, tetapi Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahayaNya, walaupun orang-orang kafir tak menyukai. Dialah yang telah mengutus RasulNya (dengan) petunjuk (Al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkanNya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.

Kepada segenap Muslimin Indonesia yang mulia, lurus dan saya hormati, mohon sampaikan kabar kepada anggota-anggota dewan Nahdlatul Ulama beserta ketuanya yang menyimpang Hasyim Muzadi, yang sudah sempoyongan di pinggir jurang kekufuran, mengenai kata-kata terJaga ini dalam Quran:

Dialah yang telah mengutus RasulNya (dengan) petunjuk (Al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkanNya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.
Demikianlah ayat-ayat selanjutnya dalam Deklarasi itu berjalan kesana kemari tanpa tuntunan hidayah, untuk kembali kepada tesis sentral kafir pada ayat 10: "Guna memberi dukungan penuh kepada setiap komunitas internasional yang berencana untuk memupuk kedamaian, keamanan dan kemajuan, dan untuk membantu tumbunya saling menhormati, toleransi dan hubungan damai dalam rangka kedamaian global." Sekali lagi kita kembali kepada zona tanpa-oksigen-nya otak Sekjen PBB (baca: otak tanpa oksigen=sel-selnya mati/tidak bekerja)

Nampak jelas bagi kami bahwa sebagian besar penduduk Muslim dunia yang terdiri dari saudara-saudara Muslim kita di Indonesia harus mulai memisahkan diri mereka dari kepemimpinan palsu mereka yang agaknya di situasi sekarang ini tak berdaya untuk melebarkan jalan kepada Siraatal-Mustaqiim dalam hal fardhu tiang Zakat. Zakat bukanlah seperti Sadaqa yang dikeluarkan secara sukarela, namun Zakat adalah Sadaqa yang dipungut, dan ini berarti Muslimin haruslah berada di bawah pemerintahan seorang Amir Muslim yang menunjuk Amilin Zakat, yang kemudian memungut Zakat bukan dalam bentuk uang kertas (yang haram) namun harus dalam bentuk kekayaan nyata (baca: dinar Islam, dirham Islam, emas, perak, ternak, hasil bumi). Inilah kewajiban setiap pemimpin Muslim yang serius agar terhindar dari jebakan yang dipasang untuk kita. Kita harus menghancurkan dua menara Terorisme dan Tolérance. Allah memerintahkan kita dalam Surat at-Taubah (9:103-104):

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya do'a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Mendengar lagi Maha Mengetahui. Tidaklah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan mengetahui zakat mereka dan bahwasanya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang?

Guna menggantikan meluapnya sungai sosiologi dan filsafat yang tak bermakna dalam apa yang dinamakan sebagai "Prinsip-prinsip Islam" atau "Nilai-nilai Islami" dlsb, mari kita lihat bagaimana sebuah Konferensi Islam seharusnya dibuka. Saya menukil dari 'Islam dalam Madzhab Madinah' karangan Syekh Ahmad ibn al-Bashir al-Qalaawi asy-Syinquiiti. Perhatikan bagaimana Syekh kita yang mulia ini merujuk kita kepada seorang faqih besar yang kemudian merujuk kita kepada Imam besar ilmu Islam, dengan demikian membawa kita kepada sumbernya. Ia mengatakan:

"Al-Faakihaani dalam al-'Umda mengatakan bahwa 'Iyyad berkata: 'Ketahuilah bahwa Adzan adalah pernyataan 'aqidah dan iman yang menyeluruh, mencakup kesaksian intelektual dan juga diterimanya ilmu secara langsung (penyampaian ilmu dengan sanad): pada awal adzan terletak kesaksian pada Dzat dan ini kemudian berarti kesaksian pada ke-Mulia-an dan ke-Benar-an-Nya, begitu pula tanzih-nya, yaitu meninggalkan hubungan kebalikannya dari-Nya (dari dua hal ini) — dan ini (didapatkan dari), membaca 'Allahuakbar', karena pernyataan ini terlepas dari bobotnya, menunjuk kepada maksud kami. Kemudian muadzin bersaksi terhadap ke-Esa-an Allah dan menolak pada kebalikannya dari ini, yaitu manolak adanya syarikat (pembanding) bagi Allah. Inilah tiang Iman dan Tauhid yang mendasari semua kewajiban Diin. Kemudian muadzin bersaksi atas ke-Rasul-an, dengan demikian pengukuhan berserah-dirinya pada Nabi kita, Shalallaahu 'Alaihi Wasallaam. Prinsip ini sangatlah penting - setelah bersaksi atas ke-Esa-an-Nya: Dikatakan bahwa deklarasi ketauhidan adalah salah satu amal yang bisa dilakukan (bukan keharusan yang kaku). Bagaimanapun juga, deklarasi tauhid hanya meliput dasar-dasar asasi yang diperlukan (mengenai Allah); Kemudian dengan akal terbukalah dasar-dasar 'aqidah lainnya - mengenai apa yang wajib, apa yang mustahil dan apa yang mungkin mengenai Allah Ta'Ala. Kemudian Adzan memanggil kepada amal ibadah yaitu shalat, ini disebut setelah kesaksian pada Rasulullah, karena ilmu faraid shalat didapat dari Rasulullah Salallaahu 'Alaihi Wasallaam, bukan dari akal. Kemudian adzan memanggil kepada kejayaan (hayya ala'l-falaah), dan ini adalah penutup 'aqidah bila dilihat dari segi keimanan. Kemudian dilanjutkan dengan pengulangan iqamat guna mengumumkan bahwa shalat akan segera dimulai. Pengulangan ini kemudian menandakan peneguhan iman, peneguhan dalam qalbu, lidah dan tangan (badan) ketika pada permulaan ibadah shalat seorang abdi sepenuhnya sadar atas makna dan tujuannya, dan dengan bercermin pada imannya sendiri, dan sadar atas bobot amalannya, yang Luasnya seluas Rabb, yang mana Ia-lah yang disembah dan padaNya-lah kita berharap balasan."

Saleum, Jihad dan jin si Aladin


oleh H. Zikrillah Rida, SE

Allah akan menyempurnakan diri Nya dan Cahaya Nya dengan orang-orang yang bertakwa dan berjuang. Itulah makna saling sifat mensifati orang-orang beriman dengan Allah. Seperti dalam surat At Taubah 32. Mereka hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut mereka, tetapi Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya Nya, walaupun orang kafir tidak menyukai. Itulah cahaya yang sering-sering saya sebutkan dimiliki orang beriman yang menghadapi cobaan sebagai pertanda kesempurnaan Allah terwakili oleh hamba itu tadi.

Apa surga dan neraka itu satu gang? Tidak !!! Dia berpisah dengan jelas tidak didalam satu jalan. Coba perhatikan Al Quran bagaimana Allah bercerita panjang lebar membongkar rahasia hati orang-orang munafiq itu sampai-sampai Allah menegur nabi yang masih berharap-harap dengan orang-orang munafiq ketika perintah jihad sudah dikeluarkan menghadapi perang Badar. Kaum munafik berdalih karena ini itu. Orang munafiq itu takut kalau-kalau jihad itu akan memperburuk keberadaannya dan hartanya. ”Biar kan mereka duduk disitu tak usah diajak jihad”, kata Allah. ”Sudah Ku cap mereka itu. Perangi mereka agar jangan ada fitnah. Sembahyang mereka tidak lain hanyalah siulan dan bertepuk tangan”. Lihat panjang lebar hal itu di surat Al Anfaal.

Orang yang tidak berani membela dan malah mengusir kalian itu dari kantornya karena dia khawatir terjadi konflik kepentingan terhadap dirinya dan oragnisasinya adalah orang bersiul dan bertepuk tangan sholatnya. Apa lagi orang kalian bongkar kemunafikannya itu, dia adalah orang zalim. Organisasi atas nama Islam yang mereka dirikan itu seperti orang munafiq yang bangun masjid di Madinah (Mesjid Dihrar, Red) yaitu membangun masjid untuk meneguhkan kedudukan mereka bukan sebagai tempat sujud orang-orang yang mengikhlaskan harta dan nyawanya atas semata-mata taqwa kepada Yang Maha Sempurna KekuasaanNya.

Baca juga surat At Taubah ayat 16 sd 20, intinya Allah ingin mengetahui mana yang benar-benar berjuang dan tidak; yang tidak takut selain hanya pada Allah dan memilih Allah, rasul dan orang beriman sebagai teman setia nya. “Apakah kamu menganggap memberi minum orang-orang mengerjakan haji dan mengurus masjidil haram, sama dengan orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir serta berjihad di jalan Allah?” Mereka itu tidak sama di sisi Allah.. Mereka itu pura-pura berjihad di jalan Allah supaya tidak diserang. Yang berjihad itu jelas dan nampak dimata Allah. Surah 9. 24, “Katakanlah, jika bapak-bapakmu, istri-istrimu, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu peroleh, perniagaan yang kamu khawatir merugi dan tempat tinggal yang dicintai, lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul dan dari Orang-orang berjihad dijalan Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan Nya”. Saya sudah melihat bahwa Saleum itu koran syiar.. Bukan koran gosip. Kita lihat saja keputusan-Nya nanti apa terhadap orang-orang yang menghalang-halangi syiar dan dakwah kalian.

Manusia ini beribadah sesuai yang disenanginya, tapi bukan beribadah yang sesuai dengan yang disenangi Allah. Itulah namanya menuhankan tuhan dengan hawa nafsunya. Manusia mencari dalih pembenaran agar ibadahnya dilaksanakannya sesuai yang disenanginya saja. Ibadah seperti jihad dengan nyawa, harta, kedudukan dan keluarga didalilkannya menjadi tidak penting. Dan Allah akan membiarkan mereka sesat dengan ilmunya itu. Sudah tepat yang Saleum lakukan selama ini, yaitu berkata lugas, tegas dan tanpa tedeng aling-aling. Karena hati orang yang berdosa itu memiliki ketakutan dan bertindak menutupi ketakutannya dari pada bertindak mencari kebenaran atau perbaikan. Makanya kalau sudah berjihad di jalan Allah, maka Allah pasti akan turunkan cobaan Nya untuk melihat siapa yang sebenar-benarnya yang berjihad itu. Nah yang menjadi pertanyaannya apakah bisa nanti Saleum tetap menjadi koran jihad?

Dalam Islam memberitakan, menyampaikan dan menjelaskan yang haq kepada masyarakat mendapatkan pahala jihad yang besar. Karena siapa yang sudah dapat kabar berarti dia sudah mendapatkan pertanggung jawaban atas otak nya. Jihad itu adalah Syiar. Syiar itulah yang membesarkan Allah dan dengan itu juga diketahuilah siapa-siapa yang besama Nya dan tidak. Walau cuman selembar buletin jumat dibagikan kita sudah di kategorikan jihad bersama nabi.

Begitu juga sebaliknya siapa-siapa yang melemahkan atau menghalangi syiar berarti dikategorikan menghalang-halangi kebenaran atau jalan menuju Allah. Maka menerbitkan koran itu seperti meletakkan kaki satu di surga dan satu di neraka. Walau perbedaannya jelas tapi tergelincirnya gampang. Seperti bertauhid dan syirik.

Coba lihat surat Al Anfaal dan lain-lain. Allah berfirman dengan panjang lebar untuk mempersiapkan barisan yang teguh kepada Nabi dan orang-orang mukmin dalam perang Badar. Setelah pasukan saling berhadapan dan bertempur maka siapa yang lari meninggalkan musuh langsung di cap kafir dan sama kedudukannya dengan orang yang sebelumnya tak mau pergi perang. Jadi setelah menetapkan jihad tapi lari atau surut hukumnya itu sama saja. Kalau sudah menetapkan jalan jihad haram hukumnya mundur. Karena Allah sangat tersinggung karena kita tidak mempercayai Nya. Sehingga Allah berfirman ”Apa kamu mengira kamu itu dibiarkan saja oleh Aku?”

Azan dan melapangkan orang sholat itu jihad, sholat itu sendiri ibadah. Walau Banyaknya sholat yang dilakukan sesorang tidak dapat dipastikan bahwa dia akan masuk surga, tapi orang berjihad di pastikan Allah masuk surga. Tidak pernah Allah mengatakan celakalah orang yang berjihad karena bodoh atau kalah. Karena yang dilihat Allah hati nya bukan hasilnya. Tapi celakalah orang yang sholat karena yang dilihat Allah hasil dari sholat itu tak ada memberi manfaat. Sholat itu kebutuhan manusia, jihad itu terciptanya Cahaya kesempurnaan Allah. Memilih Allah, Rasul dan orang-orang beriman sebagai teman setianya adalah untuk orang berjihad. Orang sholat tapi takut memilih Abu Bakar Ba'asyir sebagai teman setianya berarti dia tidak jihad dan sholat nya entah untuk apa. Jadi muslimin yang enggan bersedekah ke Saleum karena kalian memasang tokoh-tokoh Islam yang sangat keras terhadap yang kafir, maka ibadah mereka itu sama seperti orang cina sembahyang dan orang sembah pohon besar. Ibadah yang karena mengharap rejeki ataupun jangan kena bencana. Apa mereka fikir Allah itu macam jin Aladin, di gosok-gosok dan diberi sesajen baru keluar dan memenuhi perintah-perintah mereka” Subhanallah.

Kita semua harus beriktikaf. Tidak perlu terlalu lama, cukuplah sehari penuh atau seminggu. Cobalah kita mencari hikmah akan kehendak Allah dari semua yang terbentang dihadapan kita. Janganlah kita beranggapan keinginan yang kita usahakan kelak menjadi persembahan jihad terbaik pada Allah. Cobalah beriktikaf mencari apa yang menjadi keinginan Allah dahulu lantas barulah kita bertawakkal dan berihad kita untuk mencapainya. Keinginan Allah tidaklah menganiaya dan buruk pada kita, tapi pilihan terbaik. Janganlah apa yang kita rasakan kegagalan saat ini adalah keburukan ataupun yang keberhasilan yang kita perjuangkan adalah kebaikan.

Allah Maha Pemelihara dan Maha Pelindung bagi orang-orang beriman. Kalaulah yang diperjuangkan ini baik bagi kita dan menjadi rahmat sekalian alam, maka tidaklah Allah menghalangi sedikitpun. Ada hal-hal yang tidak kita mengerti dan ada ukuran-ukuran diri yang tidak pantas yang dapat membawa kemudaratan yang perlu kita perbaiki. Rendahkanlah diri dalam memandang dan berjalan.

Kita selalu berusaha mencari sekutu-sekutu yang kuat, sekutu-sekutu yang kita yakini akan mempermudah jalan. Lantas diperjuangan itu kita cap bahwa Allah bersama kita. Allah tidaklah beserta sama siapapun kecuali kepada orang-orang yang bertawakkal pada-Nya. Lihatlah teguran-teguran Allah kepada Nabi-Nabi atas keputusan dan kebijaksanaannya yang mendahului Allah karena nafsu dan pandangannya.

Terkadang apa yang menjadi hasrat dikepala kita seperti orang-orang haus di padang pasir, pandangan kita (terhadap harapan, cita-cita, perencanaan masa depan) ternyata adalah fatamorgana (bayangan palsu). Sementara kalau Allah berkehendak maka air (rezeki yang kita cari-cari) itu memancar ditelapak kaki kita.

Jumat, Mei 02, 2008

Jihad & Shahadat


Dr. Ali Shariati

The term "martyr," derived from the (Latin) root "mort, "implies "death and dying," “Martyr" is a noun meaning "the one who dies for God and faith." Thus a martyr is, in any case, the one who dies. The only difference between his death and that of others is to be seen in the "cause." He dies for the cause of God, whereas the cause of the death of another may be cancer. Otherwise, the essence of the phenomenon in both cases, that is to say, death, is one and the same. As far as death is concerned it makes no difference whether the person is killed for God, for passion, or in an accident. In this sense, Christ and those killed for Christianity are "martyrs." In other words, they were "mortals," because, in Christendom's the term "martyr" refers to the person who as died [as such].

But a shahid is always alive and present. He is not absent. Thus the two terms, "shahid "and "martyr." are antonyms of each other. As it was said, the meaning of shahid (pl. shuhada), whether national or religious, in Eastern religions or otherwise, embodies the connotation of sacredness. This is right. There is no doubt that in every religion, school of thought, and national or religious attitude, a shahid is sacred. [This is true], even though the school of thought in question may not be religious, but materialistic. The attitude and feeling toward the shahid embodies a metaphysical sacredness. In my opinion, the question from whence the sacredness of a shahid comes needs hair-splitting scientific analysis. Even in religions and schools of thought in which there is no belief in sacredness and the sacred, there is however belief concerning the sanctity of a shahid. This status originates in the particular relation of a shahid to his school. In other words he develops a spring of value and sanctity. It is because, at any rate, the relationship of an individual with his belief is a sacred relationship. The same relation develops between a shahid and his faith. In the same way, yet indirectly, the same relationship develops between an adherent to a belief and its shuhada. Thus the origin of the sanctity of a shahid is the feeling of sacredness that all people have toward their school of thought, nationality, and religion. In existentialism, there are discussions which are very similar, in some parts, to our discussions concerning wilayat and its effects. Man has a primary "essential" character and a secondary "shaping character." In respect to the former, every person is the same. Anyone who wears clothes exists! But in the true sense of the term, what makes one's character, that is to say, makes him distinct from other beings, are the spiritual attributes and dimensions, feelings, instincts, and particular qualities—the things that, once a person considers them, he senses (himself) as a particular "I"." He realizes himself, saying, "Sum" (I am).

From whence do the particular characteristics of "I" come? "I," as a human being, after being born, developed characteristics, sttributes, and positive and negative values. Gradually I developed a knowledge of myself. Where does this come from. Heidegger says, "The sum of man's knowledge about his life's environment makes his character, that knowledge being the conscious relation of the existence of 'I' with an external 'thing', 'person', or 'thought."' When I establish a mental and existential relationship with individuals, movements, phenomena, things, thoughts, etc., this relationship finds a reflection in me. This reflection becomes a part of my essence and shapes my character. Thus man's character is the sum of all his relations with other characters. Consequently my virtue and vice is relative to the virtues and vices of the sum of the individuals, characters, ideas ... which surround me and with which I have a relation.

This relation can be with a historical entity (if, for example, I read history). We have not had a [direct] relationship with Imam Husayn.But when we intellectually meet him through a book or words, he becomes a part of our knowledge, and then a part of our personal characteristics. In this sense, everyone exists relative to his knowledge and ideals.

Likewise, when we give a part of our existence for a cause, that part becomes a part of that cause. For example, in our mind, justice has sacredness. It is one of those values which has become a part of us thanks to our relationship and contact with it. If I donate a thousand dollars of my own money for the establishment of justice, that thousand dollars absorbs the sacredness of justice. As long as it was in my pocket, it was merely one thousand dollars. When I negate it in the way of justice, it is affirmed in another form, because it transforms into the essence of justice. Or for example, we have some money and we feed a group of poor people. If feeding the poor has the attribute of sacredness, the amount of money which has come out of our pocket for the feeding develops a particular value. In other words, it develops a non-monetary value and adopts a spiritual value. If we had spent the same amount of money for promulgation of spiritual food, [for example, for] the writing, translating, of publishing of a book, the money finds a new value depending on how sacred the act in question is. In other words, the money negates its existence in a sense, but obtains a new existence and value. In fact, money is an external measure of energy and power. If it is spent on "partying," the energy develops a profane value or, as some may think, a sacred value! Money is like kerosene or gasoline, which can be used to move a machine or to light a lamp. Once it is spent and once it is burned, it turns into a spiritual energy, depending upon the purpose for which it has vanished. What is spent does not have an independent value. The value belongs to me who has spent it. That amount of money was a part of me. Thus the sanctity of the cause for which the money is spent reflects on me. Its value comes back to me. I earn it; because that amount of money was a portion of my existence. The hundred dollars that I have paid for the cause of justice transforms itself into "the sanctity of justice." The sanctity of justice is transformed into "the money," that is to say, something absolutely materialistic and economic. Likewise, if it is spent for feeding the poor, the value of such feeding transports its value to the money spent. But the same amount of money, once spent for filthy partying, does not adopt a value. It rather becomes less than its materialistic value. At this point, we reach a principle: "everything obtains a similar value to that for which it has been spent." As it is negated, it is affirmed. In other words, as its existence is negated, its value is affirmed. In self-annihilation, it reaches the permanence of the purpose, provided that the purpose is something permanent, such as an ideal, a value, freedom, justice, charity, thought, or knowledge. Money, once spent for the sake of knowledge, goes out of one's pocket and becomes zero; but at the same time it changes into the values of knowledge for which it is spent.

Just as money is a part of my existence, so my existence, my animal life, my instinct, and my time are parts of me. Suppose I spent an hour of my time to earn money. Because the earning of money has no value, the one hour cannot obtain any value, because I have sacrificed that hour for the sake of what does not have value or sanctity. But if I spent the same hour teaching someone something or guiding him without charging him anything, I have sacrificed that hour for a value. That hour takes on the value of the cause for which that hour was spent.

A Shahid is the one who negates his whole existence for the sacred ideal in which we all believe. It is natural then that all the sacredness of that ideal and goal transports itself to his existence. True, that his existence has suddenly become non-existent, but he has absorbed the whole value of the idea for which he has negated himself. No wonder then, that he, in the mind of the people, becomes sacredness itself. In this way, man becomes absolute man, because he is no longer a person, an individual. He is "thought." He had been an individual who sacrificed himself for "thought" Now he is "thought" itself. For this reason, we do not recognize Husayn as a particular person who is the son of Ali. Husayn is a name for Islam, justice, imamat, and divine unity. We do not praise him as an individual in order to evaluate him and rank him among shuhada. This issue is not relevant. When we speak of Husayn, we do not mean Husayn as a person. Husayn was that individual who negated himself with absoute sincerity, with the utmost magnificence within human power, for an absolute and sacred value. From him remains nothing but a name. His content is no longer an individual, but is a thought. He has transformed himself into the very school [for which he has negated himself].

An individual who becomes a shahid for the sake of a nation, and thus obtains sacredness, earns this status. In the opinion of the ones who do not recognize a nation as the sum of individuals, but recognize it as a collective spirit above the individuals, a shahid is a spiritual crystallization of that collective spirit which they call "nation." Likewise, when an individual sacrifices himself for the sake of knowledge, he is no longer an individual. He becomes knowledge itself. He becomes the shahid of knowledge. We praise liberty through an individual who has given himself to liberty; we do not praise "him" because he was a good person. This is not of course in contradiction with the fact that, from God's perspective, he is still an individual, and in the hereafter, he will have a separate destiny and account. But in the society, and by the criterion of our school, we do not praise him as an individual; we praise the thought, the sacred. At this point, the meaning of the word "shahid" is all the more clear. When the belief in a sacred school of thought is gradually eroding, is about to vanish or be forgotten in a new generation due to a conspiracy, suddenly an individual, by negating himself, re-establishes it. In other words, he calls it back again to the scene of the world. By sacrificing his existence, he affirms the thitherto] vanishing existence of that ideal. For this reason, he is shahid (witness, present) and mashhud (visible). He is always in front of us. The thought also obtains presence and permanence through him. It becomes revived and obtains a soul again.

We have two kinds of shahid, one symbolized by Hamzah, the master of martyrs, and the other symbolized by Husayn. There is much difference between Hamzah and Husayn. Hamzah is a mujahid and a hero who goes (into battle) to achieve victory and defeat the enemy. Instead, he is defeated, is killed, and thus becomes a shahid. But this represents an individual shahadat. His name is registered at the top of the list of those who died for the cause of their belief.

Husayn, on the other hand, is a different type. He does not go (into battle with the intention of) succeeding in killing the enemy and winning victory. Neither is he accidentally killed by a terroristic act of someone such as Wahshi. This is not the case. Husayn, while he could stay at home and continue to live, rebels and consciously welcomes death. Precisely at this moment. he chooses self-negation He takes this dangerous route, placing himself in the battlefield, in front of the contemplators of the world and in front of time, so that [the consequence of] his act might be widely spread and the cause for which he gives his life might be realized sooner. Husayn chooses shahadat as an end or as a means for the affirmation of what is being negated and mutilated by the political apparatus.

Conversely, shahadat chooses Hamzah and the other mujahidin who go for victory. In the shahadat of Husayn, the goal is self-negation for the sanctity [of that ideal] which is being negated and gradually is vanishing. At this point, jihad and shahadat are completely separate from each other. Ali speaks of the two concepts in two different contexts with two [different] philosophies. Al- Jihad 'izzun lil Islam ("Jihad is glory for Islam.") Jihad is an act, the philosophy of which is different from that of shahadat. Of course in jihad, there is shahadat, but the kind which Hamzah symbolizes, not the one Husayn symbolizes.

Al-Shahadat istizharan 'alal-mujahadat ("Shahadat is exposing what is being covered up.") Yes, such is the goal of shahadat, and thus it is always different from jihad. It is discussed in a different chapter. Jihad is glory for Islam. But shahadat is exposing what is being covered up. This is how I understand the matter. Once upon a time a truth was an appealing precept. Everyone followed it and it was sacred. All powers surrounded it. But gradually in time, because that truth did not serve the interests of a minority and was dangerous for a group, it was conspired against in order to erase it from the minds and lives of the people. In order to fill its empty place, someother issue was supplanted. Gradually the original issue was completely lost and in its place other issues were discussed. In this situation, the shahid, in order to revive the original issue, sacrifices his own life, and thus brings the demode precept back into attention by repulsion of its sham substitute. This is the very goal. At the time of Husayn, the main issue after the Prophet was that of leadership. The other issues were marginal. The main issue was: "Anyway, who is to rule and supervise the destiny of the Muslim nation?" As we know, during the entire reign of the Umayyads, this remained the issue. Uprisings, and thus the major crises of the Umayyads, all boiled down to this very issue. People would pour into the mosques at every event and would grab the neck of the caliph, asking him, "On the basis of which ayah or by what reason do you hold your position? Do you have the right or not?" Well, in the midst of such a situation, one cannot rule. No wonder then that the period of the Umayyads was no longer than a century.

During their reign, the Abbasids, who were more experienced (than the Umayyads), de-politicized the people; that is to say, they made the people less sensitive to the issue of imamat (leadership) and the destiny of the society. By what means?! By clinging to the most sacred issues: worship, exegesis of the Qur'an, kalam (theology), philosophy, translation of foreign books, promulgation of knowledge, cultivation, expansion of civilization—so that Baghdad could be an heir to all great cities and civilizations of the world and so that Muslims could become the most advanced of peoples. [But to what real end.] So that one issue should become negated and no one talk about it.

For the purpose of reviving the very issue, the shahid arises. Having nothing else to sacrifice, he sacrifices his own life. Because he sacrifices his life for that purpose, he transmits the sacredness of that cause to himself.

To God belong both the East and the West. He guides whom He will to a straight path. Thus we have made you an ummatan wasatan (middle community) so that you may be shuhada (witnesses) over mankind, and the Apostle may be a shahid (witness) over you. (2:142-143).

In this ayah, shahadat does not mean "to be killed." It implies that something has been covered and is about to leave the realm of memory, being gradually forgotten by people. The shahid witnesses for this innocent, silent, and oppressed victim. We know that shahid is a term of a different kind from others. The Apostle is a shahid without being killed. without being killed, the Islamic community established by the Qur'an has the status and responsibility of a shahid. God says, " ... so that you may be shuhada over mankind ...", just as the Apostle is shahid over you. Thus the role of shahadat is more general and more important than that of being murdered. Nevertheless the one who gives his life has performed the most sublime shahadat. Every Muslim should make a shahid community for others, just as the Apostle is an 'uswah (pattern) on the basis of which we make ourselves. He is our shahid and we are the shuhada of humanity.

We have determined that shahid connotes a "pattern, prototype, or example" on the basis of whom one rebuilds oneself. It means we should situate our Prophet in the midrealm of culture, faith, knowledge, thought, and society, and make all these to accord with him. Once you have done so, and thus have situated yourself in the midst of time and earth, all other nations and masses should rebuild themselves to accord with you. In this way you [as a nation] become their shahid. In other words, the same role that the Apostle has played for you, you will play for others. You will play the role of the Prophet as a human and as a nation for them. It is in this sense that the locution "'ummatan wasatan" (a community justly balanced) appears quite relevant to the word shahid. We usually think that 'ummatan wasatan refers to a moderate society, that is to say, a society in which there is not extravagance or pettiness, which has not drowned itself in materialism at the expense of sacrificing its spirituality. It is a society in which there is both spirit and matter. It is "moderate"; whereas, considering the issue of the mission of this 'ummat, this is not essentially the meaning of wasatan in this locution. Its meaning is far superior. It means that we, as an 'ummat, we must be the axis of time; that is to say, we must not be a group cowering in a corner of the Middle East or turning around ourselves, rather than becoming involved in crucial and vital issues, which form everything and make the present day of humanity and tomorrow's history. We should not neglect this responsibility by engaging in self-indulgent repetition. We must be in the middle of the field. We should not be a society which is ghaib ' (absent. the opposite of shahid), isolated, and pseudo-Mutazilite, but we should be an 'ummat in the middle of the East and the West, between Right and Left, between the two poles, and in short, in the middle of the field.The shahid is such a person. He is present in all fields. An ummatan wasatan is a community that is in the midst of battles; it has a universal mission. It is not a self-isolated. closed, and distant community. It is a shahid community.

The opinion I expressed last year concerning shahadat meant that, fundamentally in Islam, shahadat is an independent issue, as are prayer, fasting, and jihad. Whereas, in the common opinion, shahadat for a mujahid of a religion is a state or destiny in which he is murdered by the enemy in jihad. Such is also correct. But what I have expressed as a principle adjacent to jihad—not as an extension of jihad and not as a degree that the mujahid obtains in God's view or in relation to his destiny in the Hereafter—relates to a particular shahadat, symbolized by Husayn. We in Islam have great shuhada, such as our Imams, the first and foremost of whom is Ali, who is the greatest Imam and the greatest man made by Islam. Even though Ali is a shahid, we take Hamzah and Husayn as ideal manifestations of shahadat.

Hamzah is the greatest hero of Islam in the most crucial battle, Uhud (in 627). The Prophet of Islam never expressed so much sadness as he did for Hamzah, even when his own son, Abraham, died, or when some of his greatest companions were martyred. In the battle of Uhud, Hamzah became a shahid due to an inhuman conspiracy contrived by Hind (Abu Sufyan's wife and Muawiyah's mother) and carried out by her slave, Wahshi. The reaction of the Apostle was severe. The people of Medina praise Hamzah so much as a hero that the Saudis have accused them of worshipping him. It shows how much he is glorified, even though he was not from Medina. It was with his acceptance of Islam that Muslims straightened their stature. At the beginning of bi'that, Hamzah was recognized among the Quraysh as a heroic and epic personality. He was the youngest son of Abd al-M uttalib, a great hunter and warrior. After the episode in which the Quraysh insulted the Apostle and he defended the Apostle, Hamzah became inclined toward Islam. As he became Muslim, Muslims no longer remained a weak and persecuted group. Indeed, they manifested themselves as a group ready for a showdown. Afterwards, as long as there was the sword and personality of Hamzah, other personalities were eclipsed. Even themost sparkling epochal personality of Islam, that is to say, Ali, was under his influence. It is quite obvious that in the battle of Uhud, the spearhead was Hamzah, followed by Ali.

You know that when Hamzah was killed due to that filthy and womanly conspiracy, the Apostle became very angry and sad. When he attended the body of Hamzah, the ears, eyes, and nose of the latter had already been cut off. Hind had made frightening ornaments of these for herself A man who had taken an oath to drink the blood of Hamzah fulfilled his vow in Uhud. Muhammad, near the corpse of this great hero, this young and beloved son of Abdul Muttalib, and his own young uncle, spoke so angrily and vengefully that he immediately felt sorry and God warned him. Muhammad vowed that at the first chance he would burn thirty of the enemy as a blood reprisal for Hamzah. But the heavens immediately shouted at him that no one except God, Who is the Lord of fire, has the right to burn a human being for a crime. Thus the Apostle broke his vow. Since God took this sense of vengeance from him, he tried to console himself by reciting a eulogy for Hamzah.

On his return to Medina, the families were mourning their beloved ones; but no one was crying for Hamzah, because he had no relatives or home in Medina. He was a lonely immigrant. The Apostle, with such tender feelings, unexpected from a heroic man like him, waged a wailing complaint as to why no one cried for Hamzah, the son of Abdul Muttalib, "the hero of our family." And behold this tender feeling, that a Medinan family came to the Apostle and gave him condolences, saying, "We will cry for Hamzah's death and the Apostle will eulogize ours." And he thanked them.

At any rate, in the history of Islam, for the first time, Hamzah was given the title Sayyidal-Shuhada (the Master of Shuhada). The same title was later primarily applied to Husayn. Both are Sayyid al-Shuhada, but there is a fundamental difference between their shahadat. They are of two different kinds which can hardly be compared. Hamzah is a mujahid who is killed in the midst of jihad but Husayn is a shahid who attains shahadat before he is killed. He is a shahid, not only at the place of his shahadat, but also in his own house. From the moment that Walid, the governor of Medina, asks him to swear allegiance [to Yazid] and he says, "NO !"—the negation by which he accepts his own death—Husayn is a shahid, because shahid in this sense is not necessarily the title of the one killed as such, but it is precisely the very witnessing aimed at negating an [innovative] affair. A shahid is a person who, from the beginning of his decision, chooses his own shahadat, even though, between his decision-making and his death, months or even years may pass. If we want to explain the fundamental difference between the two kinds of shahadat, we must say that, in Hamzah's case, it is the death which chooses him. In other words, it is a kind of shahadat that chooses the shahid. In Husayn's case, it is quite the contrary. The shahid chooses his own shahadat. Husayn has chosen shahadat, but Hamzah has been chosen by shahadat.

The philosophy of the rise of the mujahid is not the same as that of the shahid. The mujahid is a sincere warrior who, for the sake of defending his belief and community or spreading and glorifying his faith and community, rises so that he may break, devastate, and conquer the enemy who blocks or endangers his path; thus the difference between attack and defense is jihad. He may be killed in this way. Since he dies in this way, we entitle him "shahid. "The kind of shahadat symbolized by Hamzah is a tragedy suffered by a mujahid in his attempt to conquer and kill the enemy. Thus the type of shahid symbolized by Hamzah refers to the one who gets killed as a man who had decided to kill the enemy. He is a mujahid. The type of shahid symbolized by Husayn is a man who arises for his own death. In the first case, shahadat is a negative incident. In the latter case, it is a decisive goal, chosen consciously. In the former, shahadat is an accident along the way; in the latter, it is the destination. There death is a tragedy; here death is an ideal. It is an ideology. There the mujahid, who had decided to kill the enemy, gets killed. He is to wailed and eulogized. Here there is no grief, for shahadat is a sublime degree, a final stage of human evolution. It is reaching the absolute by one's own death. Death, in this case, is not a sinister event. It is a weapon in the hands of the friend who with it hits the head of the enemy. In the event that Husayn is completely powerless in defending the truth, he hits the head of the attacking enemy with his own death.

Shahadat has such a unique radiance; it creates light and heat in the world and in the cold and dark hearts. In the paralyzed wills and thought, immersed in stagnation and darkness, and in the memories which have forgotten all the truths and reminiscences, it creates movement, vision, and hope and provides will, mission, and commitment. The thought, "Nothing can be done," changes into, "Something can be done," or even, "Something must be done." Such death brings about the death of the enemy at the hands of the ones who are educated by the blood of a shahid. By shedding his own blood, the shahid is not in the position to cause the fall of the enemy, [for he can't do so]. He wants to humiliate the enemy, and he does so. By his death, he does not choose to flee the hard and uncomfortable environment. He does not choose shame. Instead of a negative flight, he commits a positive attack. By his death, he condemns the oppressor and provides commitment for the oppressed. He exposes aggression and revives what has hitherto been negated. He reminds the people of what has already been forgotten. In the icy hearts of a people, he bestows the blood of life, resurrection, and movement. For those who have become accustomed to captivity and thus think of captivity as a permanent state, the blood of a shahid is a rescue vessel. For the eyes which can no longer read the truth and cannot see the face of the truth in the darkness of despotism and istihmar (stupification), all they see being nothing but pollution, the blood of the shahid is a candle light which gives vision and [serves as] the radiant light of guidance for the misguided who wander amidst the homeless caravan, on mountains, in deserts, along by-ways, and in ditches.

Minggu, April 27, 2008

Teori Islamisasi Aceh


Oleh : Hilmy Bakar | Pendiri dan Presiden Hilal Merah.
Sekarang menetap di Aceh sebagai Relawan Kemanusiaan dan Peneliti Sosial

Islamisasi Aceh Versi Snouck Hourgronje

Mengenai Islamisasi di Aceh, ada beberapa teori yang hingga kini masih sering dibahas, baik oleh sarjana-sarjana Barat maupun kalangan intelektual Islam sendiri. Salah satunya adalah teori masuknya Islam ke Aceh dari Gujarat, disebut juga sebagai Teori Gujarat. Teori ini berasal dari seorang orientalis asal Belanda yang seluruh hidupnya didedikasikan untuk menghancurkan Islam di Aceh yang tidak mampu dijajah Belanda. Orientalis ini bernama Snouck Hurgronje, yang demi mencapai tujuannya, ia mempelajari bahasa Arab dan Islam dengan sangat giat sampai ke Mesir dan Mekkah, mengaku sebagai seorang Ulama Muslim, dan bahkan mengawini seorang Muslimah, anak seorang tokoh di zamannya. Teori yang diusung oleh Snouck ini mengatakan Islam masuk ke Nusantara, termasuk Aceh dari wilayah-wilayah di anak benua India seperti Gujarat, Bengali. Ironisnya Teori ini masih dipakai dalam buku-buku sejarah sampai sekarang yang menjadi buku pegangan bagi para pelajar kita, dari tingkat sekolah dasar hingga lanjutan atas, bahkan di beberapa perguruan tinggi.

Dalam L’arabie et les Indes Neerlandaises, Snouck menyebutkan teori tersebut didasarkan pada pengamatan tidak terlihatnya peran dan nilai-nilai Arab yang ada dalam Islam pada masa-masa awal, yakni pada abad ke-12 atau 13. Snouck juga mengatakan, teorinya didukung dengan hubungan yang sudah terjalin lama antara wilayah Nusantara dengan daratan India. Sebetulnya, teori ini dimunculkan pertama kali oleh Pijnappel, seorang sarjana dari Universitas Leiden. Namun, nama Snouck yang paling besar memasarkan teori Gujarat ini. Salah satu alasannya adalah, karena Snouck dipandang sebagai sosok yang mendalami Islam. Teori ini diikuti dan dikembangkan oleh banyak sarjana Barat lainnya.

Teori Gujarat yang dikembangkan bahkan dipaksakan Snouck bersama antek-anteknya ini telah memberikan pengaruh yang besar terhadap sejarah dan jati diri bangsa Aceh selanjutnya. Pengkerdilan ini telah memutuskan mata rantai spiritualitas keislaman yang telah berurat berakar pada tradisi, budaya dan peradaban Aceh sebagai tapak awal Islamisasi Nusantara. Dampak psikologis yang paling kentara adalah kesan bahwa Aceh adalah salah satu wilayah yang baru tersentuh Islam, yang maknanya bahwa perkembangan peradaban Islam di Aceh baru beberapa abad.

Untuk menguak kepalsuan Teori Gujarat ini, ada beberapa teori yang ingin penulis sampaikan sebagai pembantah Teori Snouck di atas. Diantara teori itu adalah:

Teori Champa (Jeumpa) Versi Raffles

Gubernur Jendral Hindia Belanda dari Kerajaan Inggris yang juga seorang peneliti sosial, Sir TS. Raffles dalam bukunya The History of Java, menyebutkan bahwa Champa yang terkenal di Nusantara, bukan terletak di Kambodia sekarang sebagaimana dinyatakan oleh para peneliti Belanda. Tapi Champa adalah nama daerah di sebuah wilayah di Aceh, yang terkenal dengan nama ”Jeumpa”. Champa adalah ucapan atau logat Jeumpa dengan dialek ”Jawa”. Jeumpa (Champa) biasanya dihubungkan dengan sebuah peristiwa pada zaman kerajaan Majapahit, terutama pada masa pemerintahan Brawijaya V yang memiliki seorang istri yang dikenal dengan ”Puteri Champa”. Puteri inilah yang melahirkan Raden Fatah, yang kemudian menyerahkan pendididikan putranya kepada seorang pamannya yang dikenal dengan Sunan Ampel di Surabaya. Sejarah mencatat, Raden Fatah menjadi Sultan pertama dari Kerajaan Islam Demak, Kerajaan Islam pertama di tanah Jawa yang mengakhiri sejarah Kerajaan Hindu-Jawa Majapahit. Jeumpa yang dinyatakan Raffles sekarang berada di sekitar daerah Kabupaten Bireuen Aceh.

Kerajaan Jeumpa Aceh, berdasarkan Ikhtisar Radja Jeumpa yang di tulis Ibrahim Abduh, yang disadurnya dari hikayat Radja Jeumpa adalah sebuah Kerajaan yang benar keberadaannya pada sekitar abad ke VIII Masehi berada di sekitar daerah perbukitan mulai dari pinggir sungai Peudada di sebelah barat sampai Pante Krueng Peusangan di sebelah timur. Istana Raja Jeumpa terletak di desa Blang Seupeueng yang dipagari di sebelah utara, sekarang disebut Cot Cibrek Pintoe Ubeuet. Masa itu Desa Blang Seupeueng merupakan permukiman yang padat penduduknya dan juga merupakan kota bandar pelabuhan besar, yang terletak di Kuala Jeumpa. Dari Kuala Jeumpa sampai Blang Seupeueng ada sebuah alur yang besar, biasanya dilalui oleh kapal-kapal dan perahu-perahu kecil. Alur dari Kuala Jeumpa tersebut membelah Desa Cot Bada langsung ke Cot Cut Abeuk Usong atau ke ”Pintou Rayeuk” (pintu besar).

Menurut hasil observasi terkini di sekitar daerah yang diperkirakan sebagai tapak Maligai Kerajaan Jeumpa sekitar 80 meter ke selatan yang dikenal dengan Buket Teungku Keujereun, ditemukan beberapa barang peninggalan kerajaan, seperti kolam mandi kerajaan seluas 20 x 20 m, kaca jendela, porselin dan juga ditemukan semacam cincin dan kalung rantai yang panjangnya sampai ke lutut dan anting sebesar gelang tangan. Di sekitar daerah ini pula ditemukan sebuah bukit yang diyakini sebagai pemakaman Raja Jeumpa dan kerabatnya yang hanya ditandai dengan batu-batu besar yang ditumbuhi pepohonan rindang di sekitarnya.

Sebelum kedatangan Islam, di daerah Jeumpa sudah berdiri salah satu Kerajaan Hindu Purba Aceh yang dipimpin turun temurun oleh seorang bergelar Meurah. Awal abad ke VIII Masehi datang pemuda tampan bernama Abdullah yang memasuki pusat Kerajaan di kawasan Blang Seupeueng dengan kapal niaga yang datang dari India belakang (Parsi ?) untuk berdagang. Dia memasuki negeri Blang Seupeueng melalui laut lewat Kuala Jeumpa dan negeri ini sudah dikenal di seluruh penjuru serta mempunyai hubungan perdagangan dengan Cina, India, Arab dan lainnya. Selanjutnya Abdullah tinggal bersama penduduk dan menyiarkan agama Islam. Rakyat di negeri tersebut dengan mudah menerima Islam karena tingkah laku, sifat dan karakternya yang sopan dan sangat ramah. Dia dinikahkan dengan puteri Raja bernama Ratna Kumala. Akhirnya Abdullah dinobatkan menjadi Raja menggantikan bapak mertuanya, yang kemudian wilayah kekuasaannya dia berikan nama dengan Kerajaan Jeumpa, sesuai dengan nama negeri asalnya di India Belakang (Persia) yang bernama ”Champia”, yang artinya harum, wangi dan semerbak. Sementara Bireuen sebagai ibukotanya, berarti kemenangan, sama dengan Jayakarta (Jakarta) dalam bahasa Jawa.

Berdasarkan silsilah keturunan Sultan-Sultan Melayu, yang dikeluarkan oleh Kerajaan Brunei Darussalam dan Kesultanan Sulu-Mindanao, Kerajaan Islam Jeumpa pada 154 Hijriah atau sekitar tahun 777 Masehi dipimpin oleh seorang Pangeran dari Parsia (India Belakang ?) yang bernama Syahriansyah Salman atau Sasaniah Salman yang kawin dengan Puteri Mayang Seulodong dan memiliki beberapa anak, antara lain Shahri Duli, Shahri Tanti, Shahri Nawi, Shahri Dito dan Puteri Makhdum Tansyuri yang nantinya menjadi ibu dari Sultan pertama Kerajaan Islam Perlak. Menurut penelitian pakar sejarah Aceh, Sayed Dahlan al-Habsyi, Shahri adalah gelar pertama yang digunakan keturunan Nabi Muhammad di Nusantara sebelum menggunakan gelar Meurah, Habib, Sayid, Syarief, Sunan, Teuku dan lainnya. Syahri diambil dari nama istri Sayyidina Husein bin Ali, Puteri Shahri Banun, anak Maha Raja Parsia terakhir.

Mengenai keberadaan Shahri Nawi ini, disebutkan oleh Syekh Hamzah Fansuri. Syekh ini adalah Ulama Sufi dan sastrawan terkenal Nusantara yang berpengaruh dalam pembangunan Kerajaan Aceh Darussalam, yang juga merupakan guru Syamsuddin al-Sumatrani yang dikenal sebagai Syekh Islam Kerajaan Aceh Darussalam pada masa Iskandar Muda. A. Hasymi menyebutkan beliau juga adalah paman dari Maulana Syiah Kuala (Syekh Abdul Rauf al-Fansuri al-Singkili). Syekh Fansuri dalam beberapa kesempatan menyatakan asal muasalnya dan hubungannya dengan Shahri Nawi. Diantaranya dalam sebuah syair beliau:

Hamzah ini asalnya Fansuri

Mendapat wujud di tanah Shahrnawi

Beroleh khilafat ilmu yang ’ali

Daripada ’Abd al-Qadir Jilani

Hamzah di negeri Melayu,

Tempatnya kapur di dalam kayu

Dari rangkaian syair ini, maka jelaslah bahwa ada hubungan antara bumi Shahrnawi (Shahr Nawi) dengan Fansur yang menjadi asal muasal kelahiran Syekh Hamzah Fansuri dan tempat yang terkenal kafur Barus. Sebagaimana disebutkan di atas, Shahrnawi atau Syahr Nawi adalah anak daripada Pangeran Salman (Sasaniah Salman) yang lahir di daerah Jeumpa, di Aceh Bireuen saat ini. Syahrnawi adalah salah satu tokoh yang berpengaruh dalam pengembangan Kerajaan Islam Perlak, bahkan beliau dianggap arsitek pendiri kota pelabuhan Perlak pada tahun 805 M yang dipimpinnya langsung, dan diserahkan kepada anak saudaranya Maulana Abdul Aziz pada tahun 840 M. Kerajaan Islam Perlak selanjutnya berkembang menjadi Kerajaan Islam Pasai dan mendapat kegemilangannya pada masa Kerajaan Aceh Darussalam.

Maka tidak mengherankan jika Syekh Hamzah Fansuri, mengatakan kelahirannya di bumi Sharhnawi yang merupakan salah seorang generasi pertama pengasas Kerajaan-Kerajaan Aceh Islam yang dimulai dari Kerajaan Islam Jeumpa. Pernyataan Syekh Hamzah Fansuri ini juga menjadi hujjah yang menguatkan teori bahwa Jeumpa, asal kelahiran Shahrnawi adalah Kerajaan Islam pertama di Nusantara.

Teori Hubungan Dagang Arab-Cina

Sejak dahulu perdagangan antara negara-negara Timur dengan Timur Tengah dan Eropa berlangsung lewat dua jalur: jalur darat dan jalur laut. Jalur darat, yang juga disebut ”jalur sutra” (silk road), dimulai dari Cina Utara lewat Asia Tengah dan Turkistan terus ke Laut Tengah. Jalur perdagangan ini, yang menghubungkan Cina dan India dengan Eropa, merupakan jalur tertua yang sudah di kenal sejak 500 tahun sebelum Masehi. Sedangkan jalan laut dimulai dari Cina (Semenanjung Shantung) dan Indonesia, melalui Selat Malaka ke India; dari sini ke Laut Tengah dan Eropa, ada yang melalui Teluk Persia dan Suriah, dan ada juga yang melalui Laut Merah dan Mesir. Diduga perdagangan lewat laut antara Laut Merah, Cina dan Indonesia sudah berjalan sejak abad pertama sesudah Masehi. ( D.H.Burger dan Prajudi, Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1960, hlm. 15.)



Akan tetapi, karena sering terjadi gangguan keamanan pada jalur perdagangan darat di Asia Tengah, maka sejak tahun 500 Masehi perdagangan Timur-Barat melalui laut (Selat Malaka) menjadi semakin ramai. Lewat jalan ini kapal-kapal Arab, Persia dan India telah mondar mandir dari Barat ke Timur dan terus ke Negeri Cina dengan menggunakan angin musim, untuk pelayaran pulang pergi. Juga kapal-kapal Sumatra telah mengambil bagian dalam perdagangan tersebut. Pada zaman Sriwijaya, pedagang-pedagangnya telah mengunjungi pelabuhan-pelabuhan Cina dan pantai timur Afrika. Ramainya lalu lintas pelayaran di Selat Malaka, maka telah menumbuhkan kota-kota pelabuhan yang terletak di bagian ujung utara Pulau Sumatra. Perkembangan perdagangan yang semakin banyak di antara Arab, Cina dan Eropa melalui jalur laut telah menjadikan kota pelabuhan semakin ramai, termasuk di wilayah Aceh yang diketahui telah memiliki beberapa kota pelabuhan yang umumnya terdapat di beberapa delta sungai. Kota-kota pelabuhan ini dijadikan sebagai kota transit atau kota perdagangan. (M.A.P. Meilink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence in the Indonesia Archipelago. The Hague: Martinus Nijhoff, 1962, hlm. 345 (catatan 122).

Dalam Gerilya Salib di Serambi Makkah (Rizki Ridyasmara, Pustaka Alkautsar, 2006) menyebutkan Peter Bellwood, Reader in Archaeology di Australia National University, telah melakukan banyak penelitian arkeologis di Polynesia dan Asia Tenggara. Bellwood menemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa sebelum abad kelima masehi, beberapa jalur perdagangan utama telah berkembang menghubungkan kepulauan Nusantara dengan Cina. Temuan beberapa tembikar Cina serta benda-benda perunggu dari zaman Dinasti Han dan zaman-zaman sesudahnya di selatan Sumatera dan di Jawa Timur membuktikan hal ini.

Dalam catatan kakinya Bellwood menulis, “Museum Nasional di Jakarta memiliki beberapa bejana keramik dari beberapa situs di Sumatera Utara. Selain itu, banyak barang perunggu Cina, yang beberapa di antaranya mungkin bertarikh akhir masa Dinasti Zhou (sebelum 221 SM), berada dalam koleksi pribadi di London. Benda-benda ini dilaporkan berasal dari kuburan di Lumajang, Jawa Timur, yang sudah sering dijarah…” Bellwood dengan ini hendak menyatakan bahwa sebelum tahun 221 SM, para pedagang pribumi diketahui telah melakukan hubungan dagang dengan para pedagang dari Cina.

Masih menurutnya, perdagangan pada zaman itu di Nusantara dilakukan antar sesama pedagang, tanpa ikut campurnya kerajaan, jika yang dimaksudkan kerajaan adalah pemerintahan dengan raja dan memiliki wilayah yang luas. Sebab kerajaan Budha Sriwijaya yang berpusat di selatan Sumatera baru didirikan pada tahun 607 Masehi (Wolters 1967; Hall 1967, 1985). Tapi bisa saja terjadi, “kerajaan-kerajaan kecil” yang tersebar di beberapa pesisir pantai sudah berdiri, walau yang terakhir ini tidak dijumpai catatannya.

Adanya jalur perdagangan utama dari Nusantara—terutama Sumatera dan Jawa—dengan Cina juga diakui oleh sejarahwan G.R. Tibbetts. Bahkan Tibbetts-lah orang yang dengan tekun meneliti hubungan perniagaan yang terjadi antara para pedagang dari Jazirah Arab dengan para pedagang dari wilayah Asia Tenggara pada zaman pra Islam. Tibbetts menemukan bukti-bukti adanya kontak dagang antara negeri Arab dengan Nusantara saat itu. “Keadaan ini terjadi karena kepulauan Sumatra telah menjadi tempat persinggahan kapal-kapal pedagang Arab yang berlayar ke negeri Cina sejak abad kelima Masehi, ” (Tibbetts; Pre Islamic Arabia and South East Asia, JMBRAS, 19 pt. 3, 1956, hal. 207. Dr. Ismail Hamid “Kesusastraan Indonesia Lama Bercorak Islam” (Pustaka Al-Husna, Jakarta, cet. 1, 1989, hal. 11).

Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok juga menyebutkan bahwa menjelang seperempat tahun 700 M atau sekitar tahun 625 M—hanya berbeda 15 tahun setelah Rasulullah menerima wahyu pertama atau sembilan setengah tahun setelah Rasulullah berdakwah terang-terangan kepada bangsa Arab—di sebuah pesisir pantai Sumatera sudah ditemukan sebuah perkampungan Arab Muslim yang masih berada dalam kekuasaan wilayah Kerajaan Budha Sriwijaya.

Temuan ini diperkuat Prof. Dr. HAMKA yang menyebut bahwa seorang pencatat sejarah Tiongkok yang mengembara pada tahun 674 M telah menemukan sekelompok bangsa Arab yang membuat kampung dan berdiam di pesisir Barat Sumatera. Ini sebabnya, HAMKA menulis bahwa penemuan tersebut telah mengubah pandangan orang tentang sejarah masuknya agama Islam di Tanah Air. HAMKA juga menambahkan bahwa temuan ini telah diyakini kebenarannya oleh para pencatat sejarah dunia Islam di Princetown University di Amerika. (Prof. Dr. HAMKA, Dari Perbendaharaan Lama; Pustaka Panjimas; cet.III; Jakarta; 1996; Hal. 4-5).

Dalam kitab sejarah Cina yang berjudul Chiu T’hang Shu disebutkan pernah mendapat kunjungan diplomatik dari orang-orang Ta Shih, sebutan untuk orang Arab, pada tahun tahun 651 Masehi atau 31 Hijirah. Empat tahun kemudian, dinasti yang sama kedatangan duta yang dikirim oleh Tan mi mo ni’. Tan mi mo ni’ adalah sebutan untuk Amirul Mukminin. Dalam catatan tersebut, duta Tan mi mo ni’ menyebutkan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dan sudah tiga kali berganti kepemimpinan. Artinya, duta Muslim tersebut datang pada masa kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan.

Biasanya, para pengembara Arab ini tak hanya berlayar sampai di Cina saja, tapi juga terus menjelajah sampai di Timur Jauh. Jauh sebelum penjelajah dari Eropa punya kemampuan mengarungi dunia, terlebih dulu pelayar-pelayar dari Arab dan Timur Tengah sudah mampu melayari rute dunia dengan intensitas yang cukup padat. Pada masa Dinasti Umayyah, ada sebanyak 17 duta Muslim yang datang ke Cina. Pada Dinasti Abbasiyah dikirim 18 duta ke negeri Cina. Bahkan pada pertengahan abad ke-7 sudah berdiri beberapa perkampungan Muslim di Kanfu atau Kanton.

Setelah abad ke-7 M, Islam sudah berkembang pesat, misalnya menurut laporan sejarah negeri Tiongkok bahwa pada tahun 977 M, seorang duta Islam bernama Pu Ali (Abu Ali) diketahui telah mengunjungi negeri Tiongkok mewakili sebuah negeri di Nusantara (Kerajaan Islam Perlak). (F. Hirth dan W. W. Rockhill (terj), Chau Ju Kua, His Work On Chinese and Arab Trade in XII Centuries, St.Petersburg: Paragon Book, 1966, hal. 159).

T. W. Arnold dalam “The Preaching of Islam” (1968) juga menguatkan temuan bahwa agama Islam telah dibawa oleh mubaligh-mubaligh Islam asal jazirah Arab ke Nusantara sejak awal abad ke-7 M.

Teori Kapur Dari Fansur-Barus

Fansur atau Barus adalah tempat yang dikaitkan dengan kota asal kayu kamper sebagai penghasil kapur (kamfer atau al-kafur dalam bahasa Arab) yang terdapat dalam banyak sumber asli Arab, Persia, dan China dalam berbagai buku perjalanan, botani, kedokteran, dan pengobatan. Kapur, yang dalam bahasa Latin disebut camphora, merupakan bagian dalam (inti) kayu kamfer yang padat berisi minyak yang harum.

Al-Kindi, salah seorang intelektual Arab, menyebutkan kapur barus sebagai salah satu unsur penting untuk membuat wangi-wangian. Sekitar abad ke-8, kapur barus merupakan salah satu dari lima rempah dasar dalam ilmu kedokteran Arab dan Persia. Empat unsur yang lain adalah kesturi, ambar abu-abu, kayu gaharu, dan safran. Pada zaman Abbasiyah, hanya orang kaya dan para pemimpin saja yang menggunakan pewangi dari air kapur barus untuk cuci tangan selepas perjamuan makan.

Ibnu Sina atau yang dalam literatur Eropa dikenal sebagai Aveceena, dalam bukunya yang terkenal tentang ensiklopedia pengobatan dan obat-obatan, al-Qanun Fi al-Tib, mencatat manfaat kamfer sebagai obat penenang dan mendinginkan suhu badan yang tinggi. Kamfer juga dipakai sebelum dan sesudah pembedahan, sebagai obat liver, obat diare, sakit kepala, mimisan, dan sariawan. Kapur barus juga dipakai untuk memandikan jenazah sebelum dikuburkan. Variasi penggunaan kapur barus ini menyebabkan nilai jualnya sangat tinggi. Manfaat kapur barus ini kemudian menyebar ke Yunani dan Armenia karena pada periode tersebut ilmu kedokteran dari Arab dan Persia menjadi acuan dunia.

Di akhir abad ke-4 M, istilah "P'o-lu" yang berarti Barus mulai dikenal oleh Bangsa Cina. Istilah ini diketahui sebagai rujukan kepada seluruh wilayah utara Sumatera. Barulah pada akhir abad ke-9, seorang ahli geografi Arab, Ibn Khurdadhbih menyebutkan nama Ram(n)i: "Di belakang Serendib terletak daerah Ram(n)I, dimana hewan badak dapat ditemukan… Pulau ini menghasilkan pohon bambu dan kayu Brazil, akar-akar yang dapat digunakan sebagai obat anti racun-racun mematikan…Di negeri ini juga tumbuh pohon-pohon kapur yang tinggi,"( Tibbetts, Arabic Texts, pp. 27-28).

Kira-kira pada abad yang sama, sebuah buku Akhbar al-Sin wa al-Hind juga menyebutkan nama Ramni: "Ramni (yang) terdapat didalamnya gajag-gajah dalam jumlah yang banyak berserta kayu Brazil dan bambu. Pulau itu dikelilingi oleh dua lautan..Harkand dan dan Salahit" (Ibid, p. 25). Nama Ramni atau Ram(n)I, kemungkinan besar, dengan melihat peta dan posisi Sri Lanka atau Serendib, adalah Sumatera bagian utara dan lebih tepatnya lagi timur laut Aceh. (The sea of Harkand was the Bay of Bengal. Salaht (or Salahit) is believed to be derived from the Malay word selat or Straits, i.e., what is now known as the Selat Melaka. Wolters, Early Indonesian Commerce, p. 178)

Abu Zaid Hasan pada tahun 916 M, saat dia menjelaskan penguasa Maharaja Zabaj (Sriwijaya) menyebut juga Ranmi: "nama pulau tersebut adalah Rami (Ramni) yang luasnya delapan ratus parasangs (From the Persian farsakh, it was approximately 3 Y2 miles in extent. Tibbetts, Arabic Texts, p. 3) di daerah tersebut. Di sana dapat ditemukan kayu Brazil, kapur dan tumbuhan lainnya."

Pada tahun 943, Masudi mencatat: “Kira-kira seribu parasangs (dari Serendib) masih terdapat sebuah pulau yang bernama Ramin (yakni Ramni) yang dihuni dan diperintah oleh raja-raja. Daerah tersebut penuh dengan tambang emas, dan dekat dengan tanah Fansur, yang menjadi asal kapur fansur, yang hanya dapat ditemukan di Fansur dengan jumlah yang besar dalam tahun-tahun yang penuh dengan topan dan gempa bumi. (Ibid.,pp. 37-38)

'Ajaib al-Hind', yang ditulis tahun 1000 M, menjelaskan banyak referensi mengenai Lambri. Muhammad ibn Babishad melaporkan: ”Di Pulau Lamuri terdapat zarafa (Tibbetts, Arabic Texts, p. 140.) yang tingginya tidak terkira. Dikatakan bahwa pelaut-pelaut yang terdampar di Fansur, terpaksa harus pindah ke Lamuri. Mereka mengungsi di waktu malam karena takut dengan zarafa; karena mereka tidak muncul di siang hari… Di pulau ini juga terdapat semut-semut raksasa dalam jumlah besar, terutama di kawasan Lamuri ”.... "Lububilank, yang merupakan sebuah teluk, (Tibbetts identifies this with Lho' Belang Raya (Telok Balang), 5°32f N, 95°17' E. Ibid., p. 141) terdapat orang-orang yang memakan manusia. Orang-orang kanibal ini mempunyai ekor, dan menghuni tanah antara Fansur dan Lamuri." (Ibid., pp 44-45)

Lambri dalam karya para ahli geografi Arab tidak dijelaskan lebih lanjut. Ramni juga disebutkan oleh Biruni pada tahun 1030. (Ibid., p.50). Nama tersebut juga ditulis dalam teks Dimashqi di tahun 1325. (Cowan,"Lamuri," p. 421).

Satu-satunya sumber India menyebutkan Lambri dalam transkrip Tanjore dari Bangsa Tamil dalam pemerintahan Rajendra Cola, dimana nama "Ilamuridesam yang sangat murka terlibat dalam perang" disebutkan bersama toponim lain sebagai daerah target-target penggempuran mereka pada tahun 1025. (K. A. Nilakanta Sastri, History of Srivijaya (Madras: University of Madras, 1949), pp. 80, 81.)

Ahli geografi Cina Chou Ch'u-fei menulis, pada tahun 1178, nama Lan-li dimana kapal-kapal dari Canton atau Guangdong sering merapat sambil menunggu bulan purnama untuk memudahkan mereka berlayar menuju Lautan India tepatnya Sri Lanka dan India. Lihat Almut Netolitzky, Das Ling-wai Tai-ta von Chou-chu-fei, Weisbaden: Heiner Verlag, 1977), pp. 40-41)

Hampir lima puluh tahun kemudian, Chau Ju-kua menyebut Lan-wu-li, dan melaporkan bahwa; "Hasil-hasil produksi kerajaan Lan-wu-li adalah kayu sapan (Brazilwood (Caesalpinia sappan, Linn.), gading gajah dan rotan putih. Penduduknya menyukai perang dan sering menggunakan panah beracun. Dengan angin utara, pelaut dapat berlayar selama dua puluh hari ke Silan…."(Friedrich Hirth and W. W. Rockhill, Chau Ju-kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, Entitled Chu-fan-chi (St. Petersburg: Imperial Academy of Sciences, 1911), p. 72). Dia selanjutnya mendukung informasi yang diberikan oleh Chou Ch'u-fei: ”Ta-shi terletak di Timur Laut dari Ts'uan-chou dengan jarak yang sangat jauh, jadi kapal-kapal asing kesulitan untuk melakukan pelayaran langsung. Setelah kapal-kapal tersebut meninggalkan Ts'uan-chou mereka akan berlayar terlebih dahulu selama empat puluh hari ke Lan'li, dimana mereka akan menyempatkan diri untuk berdagang. Tahun berikutnya akan kembali ke laut, dengan dukungan angin mereka akan menghabiskan enam puluh hari untuk melanjutkan perjalanan. (Ibid., p. 114.)

Marco Polo, sekembalinya dari Cina ke Eropa tahun 1292, menyebutkan, selain Perlak yang sudah memeluk Islam, nama Lambri bersama lima kerajaan kafir lainnnya. Dia menulis bahwa; "Penduduknya penyembah berhala, dan menyebut dirinya hamba Kaan yang agung. Mereka memiliki kapur dalam jumlah yang besar dan sejumlah spesis lainnya. Mereka juga memiliki kayu brazil dalam jumlah yang besar…" Di tahun 1284 dan juga tahun 1286, Lambri dilaporkan mengirimkan upeti kepada Dinasti Yuan di China. Henry Yule and Henri Cordier, The Book of Ser Marco Polo, 2 vols. (Reprint, Amsterdam: Philo Press, 1975), 2:299)

Seorang musafir Persia, Rashiduddin, pada tahun 1310 menulis bahwa para saudagar dari berbagai negara sering datang ke Lamori, dan pada tahun 1323, Friar Odoric dari Pordenone menjelaskan bahwa Lambri merupakan pusat perdagangan di mana para saudagar dari negara-negara yang sangat jauh, dan kapur, emas dan pohon gaharu juga tersedia. Di sini dia kehilangan pandangan terhadap bintang utara. (Yule and Cordier, Ser Marco Polo, p. 300, n. 1.

Wang Ta-yuan pada tahun 1349, menulis tentang Nan-wu-li, yang katanya: ”Tempat ini merupakan pusat perdagangan yang sangat penting di Nan-wu-li. Pegunungan raksasa bak gelombang terdapat dibelakangnya, terletak di pinggiran laut Jih-yueh wang yang sangat diragukan di sana ada tanah. Penduduk setempat hidup di sepanjang bukit, setiap keluarga tinggal di rumah masing-masing. Masing-masing lelaki dan wanita menggulung rambut mereka dalam sanggul di atas namun membiarkan bagian atas tubuh mereka terbuka, dan bagian bawah dibungkus sarung. Buminya sangat tandus, panennya sangat jarang, dan iklimnya sangat panas. Sebagai kebiasaan, mereka tunduk kepada bajak laut seperti orang-orang di Niu-tan-his (Tumasek). Komoditas lokal adalah sarang burug, cangkang kura-kura, cangkang penyu dan kayu laka, yang sangat bermutu dalam hal aroma. Komoditas yang biasanya diperdagangkan di sini adalah emas, perak, aksesoris besi, bunga mawar, muslin merah, kapur, porcelin dengan desain biru dan putih dan lain-lain.”

Pada tahun 1365, Kronik Jawa, Negarakrtagama, menggambarkan Lamuri sebagai negara yang tergantung kepada Majapahit. (Th. C. Th. Pigeaud, Jam in the Fourteenth Century, 5 vols. (The Hague: Nyhoff, I960), 1:11)

Ma Huan yang menulis pada awal tahun 15 M, menyebutkan Nan-po-li, yang dikunjungi oleh kapal induk dinasti Ming, dengan nakhoda Cheng Ho: ”Kerajaan ini terletak di samping laut, dan penduduknya terdiri dari hanya seribu keluarga. Semuanya Muslim, dan mereka sangat jujur dan tulus. Di bagian timur teritori itu, terletak sebuah negeri bersama Li-tai, dan di bagian barat dan utara terletak lautan luas; jika anda pergi ke selatan, terdapat pegunungan; dan di bagian selatan pegunungan tersebut terletak lagi lautan. (Mills, Ma Huan, pp. 122-23). Ma Huan juga menyebutkan nama Pulai Wei, sebuah pulau sekitar sembilan mil lauty di lepas pantai Timur Laut Aceh yang juga terdapat pelabuhan alami yang bagus, sekarang terdapat pelabuhan Sabang. Pulau Wei sering disebutkan dalam sumber-sumber sejarah dan dalam terjemahan bahasa Cina bernama "pulau Hat". Ch'ieh-nan-mao, sebuah daerah penghasil kayu gaharu.

Ma Huan menggambarkan Pulau Wei: ”Terletak di arah laut Timur Laut Lambri, dimana terdapat pegunungan raksasa yang sangat curam, yang dapat dicapai dengan setengah hari perjalanan; namanya pegunungan Mao. Di bagian barat pegunungan ini, juga, terdapat lautan luas; ini namanya Samudra Barat yang disebut Samudra Nan-mo-li, kapal-kapal yang datang dari Samudra dari arah barat berlabuh di sini, dan mereka melihat pegunungan ini sebagai petunjuk arah.

Di laut yang dangkal, sekitar dua cang dalamnya, di pinggir pegunungan, tumbuh pohon-pohon laut; penduduk di sana mengumpulkannya dan menjualnya sebagai komoditas yang berharga. Ini namanya karang. Kerajaan ini tunduk kepada jurisdiksi kerajaan Nan-po-li. (Ibid., pp. 123-124)

Awal abad ke-16 M, Tome Pires memberikan gambaran yang lebih tepat mengenai lokasi Lambri. Dia mengatakan bahwa; "Aceh merupakan negara pertama di bagian pulau Sumatera, dan Lambri benar-benar di bagian kanannya, yang terletak menjorok ke darat dan tanah Biar terletak antara Aceh dan Pidie, dan sekarang negeri-negeri ini tunduk kepada Aceh dan memerintah di kedua wilayah tersebut dan dialah raja satu-satunya di sana. Raja ini adalah Moo…".

Walaupun istilah Lambri dan beberapa versi lainnya biasanya ditujukan kepada seluruh pantai utara Aceh, nampaknya hal tersebut di atas menunjukkan pada titik tertentu yang menjadi informasi kepada pelayaran yang aman dari ombak Teluk Bengal, sebuah sumber air segar. Buku Hikayat Atjeh juga memberikan petunjuk. Pada halaman 17 dari manuskrip tersebut, diterbitkan oleh Teuku Iskandar, terdapat sebuah petunjuk mengenai Lambri, "teluk Lambri".

Walaupun Chau Ju-kua tidak menyebutkan kapur diperdagangkan di Lambri, tapi diduga bahwa Ujung Pancu dan Kuala Pancu di Lhok Lambro dekat banda Aceh kemungkinan besar sangat berhubungan dengan Fansur. Kapal-kapal yang harus memutar di Ujung Pancu, harus melalui Lambri ke Barus. Nama Lambri dan Barus, makanya, sering dibingungkan dalam pelayaran kuno karena eratnya kedua kota ini.

Chia Tan yang menulis buku pada era awal abad ke-8, menyebutkan pelabuhan P'o-lu, merupakan daerah yang kaya dengan emas, mercury dan kapur. Pelabuhan tersebut merupakan titip kepergian bagi kapal-kapal yang datang dari Sriwijaya barat melalui Samudera India ke Sri Langka.

Sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus, salah seorang ahli Georafi dan Gubernur Kerajaan Yunani yang berpusat di Aleksandria Mesir, pada abad ke-2 Masehi, juga telah menyebutkan bahwa di pesisir barat Sumatera yang menjadi jalan ke Tiongkok terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang dikenal menghasilkan wewangian dari kapur barus. Disebutkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5000 tahun sebelum Masehi.

Teori Kaafuro Dalam al-Qur’an

Hubungan erat Aceh-Melayu dengan dunia Arab juga dapat ditelusuri dari beberapa kata di dalam al-Qur’an. Sebagaimana diketahui al-Qur’an adalah kumpulan wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui perantaraan malaikat Jibril as sejak pertama diangkat menjadi Nabi di Gua Hira’ sampai beliau wafat di Madinah pada tahun 10 Hijriah. Sampai saat ini tidak ada satupun manusia yang dapat menyanggah bahwa al-Qur’an dengan segala kemukjizatannya bukan berasal dari Allah Sang Pencipta. Karena mana mungkin seorang yang buta huruf seperti Nabi Muhammad dapat menbuat sebuah kitab agung yang memiliki gaya bahasa Arab tertinggi dan tidak mampu dijangkau oleh seorang pujangga teragung sekalipun. Karena al-Qur’an bukan hanya kitab sastra, tapi kitab hukum, undang-undang, pengetahuan, politik dan seterusnya yang disampaikan dengan untaian indah. Terlalu banyak makhluk yang tertegun dengan keindahan al-Qur’an.(lihat: al-Wahyu al-Muhammady, M. Rasyid Ridha)

Telah disepakati para Ulama, bahwa al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, sebagaimana dinyatakan al-Qur’an sendiri. Namun bahasa Arab al-Qur’an adalah bahasa Arab tertinggi yang telah melahirkan gramatika bahasa Arab kontemporer. Para ulama juga berpendapat ada beberapa kata al-Qur’an yang bukan berasal dari bahasa Arab asli, namun bahasa non Arab yang sudah banyak digunakan dan dimengerti oleh masyarakat Arab. (lihat: Mafhum fie Ulum al-Qur’an, Ash-Shabuni)

Salah satu bahasa Aceh-Melayu yang sudah tersebar di dunia Arab, termasuk Mesir sejak zaman kekuasaan Ramses (Fir’aun) adalah kafur. Sebagaimana dijelaskan terdahulu dalam teori kafur Barus, bahwa kafur min barus adalah sebuah komuditas mewah wangi-wangian yang berasal dari inti kayu kamfer yang dalam bahasa latin dikenal dengan champora. Tidak diragukan bahwa penghasil terbesar kapur zaman itu adalah wilayah yang terletak di ujung barat pulau Sumatera, yang sekarang berada di wilayah Aceh. Bahkan dalam teori terdahulu telah disebutkan banyak dalil tentang Barus-Fansur awal, yang berada di sekitar Lamuri-Aceh.

Pada al-Qur’an surat al-Insan (76) ayat ke 5 menyebutkan: Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan akan meminum dari gelas, minuman yang dicampur kafur. Kebanyakan mufassirin dalam tafsirnya masing-masing seperti Ibn. Abbas, Jalalain, al-Qurthubi, Ibn Katsir dan lain-lainnya, mengartikan kafur sebagai campuran dari minuman yang merehatkan, nikmat, yang dapat membuat tenang dan biasanya dijadikan obat. Walaupun ada yang menyebutkan sebagai nama mata air di syurga. Pendapat pertama lebih banyak dirujuk mengingat penggunaan kafur yang sudah umum sebagai bahan obat-obatan, wangi-wangian dan bahan perisa di dunia Arab pra-Islam seperti di Alexenderia Mesir dan lainnya. Namun hampir semuanya sepakat bahwa kata ini bukan asli bahasa Arab, sebagaimana disebutkan Ibn Manzhur dalam Lisan al-Arab karena tidak ditemukan dalam bahasa Arab Jahiliyah atau bahasa Arab purba. Maka dengan demikian, tidak diragukan bahwa kata kafur yang dimaksudkan al-Qur’an adalah kapur dari Barus sebagai lambang kemewahan pada zaman itu .

Dengan terdapatnya kata kafur di dalam al-Qur’an, maka dapat diartikan bahwa daerah penghasil kafur yang paling populer di seluruh dunia, seperti Barus, Fansur, Lamri dan sekitarnya di wilayah Aceh, tentu telah berhubungan erat dengan masyarakat tempat al-Qur’an diturunkan, yaitu masyarakat Arab. Saking populernya kafur dalam masyarakat Arab sebagai sebuah simbol kenikmatan, sehingga dimasukkan sebagai kata dalam al-Qur’an. Jika kita boleh mengambil hikmah dimasukkannya kata kafur ke dalam al-Qur’an, Sang Sumber al-Qur’an mudah-mudahan bermaksud untuk memberi perhatian dan kehormatan pada asal benda ini, Aceh, sebagai kawasan yang memiliki peranan penting dalam penyebaran agama-Nya. Dan memang sejarah telah membuktikan bahwa Aceh telah menjadi tapak persemaian penting Islam di Nusantara yang telah melahirkan Kerajaan-Kerajaan Islam yang sangat berpengaruh dalam proses Islamisasi dan menggusur peran Hindu-Budha. Hanya Allah Yang Maha Tahu..........

Teori Korespondensi Khalifah Abdul Aziz-Raja Sri Indravarman

Ibn Abd Al Rabbih dalam karyanya Al Iqd al Farid sebagaimana dikutip Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII menyebutkan ada proses korespondensi yang berlangsung antara raja Sriwijaya kala itu Sri Indravarman dengan khalifah Umar bin Abdul Azis yang terkenal adil tersebut.

“Dari Raja di Raja [Malik al Amlak] yang adalah keturunan seribu raja; yang istrinya juga cucu seribu raja; yang di dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah; yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wanginya hingga menjangkau jarak 12 mil; kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekadar tanda persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya,”

Diperkirakan hubungan diplomatik antara kedua pemimpin wilayah ini berlangsung pada tahun 100 Hijriah atau 718 Masehi. Tak dapat diketahui apakah selanjutnya Sri Indravarman memeluk Islam atau tidak. Tapi hubungan antara Sriwijaya dan pemerintahan Islam di Arab menjadi penanda babak baru Islam di Nusantara. Jika awalnya Islam masuk memainkan peranan hubungan ekonomi dan dagang, maka kini telah berkembang menjadi hubungan politik keagamaan. Dan pada kurun waktu ini pula Islam mengawali kiprahnya memasuki kehidupan raja-raja dan kekuasaan di wilayah-wilayah Nusantara.

Teori Kerajaan Islam Perlak

Perlak pada tahun 805 Masehi adalah bandar pelabuhan yang dikuasai pedagang keturunan Parsi yang dipimpin seorang keturunan Raja Islam Jeumpa Pangeran Salman al-Parsi dengan Putri Manyang Seuludong bernama Meurah Shahr Nuwi. Sebagai sebuah pelabuhan dagang yang maju dan aman menjadi tempat persinggahan kapal dagang Muslim Arab dan Persia. Akibatnya masyarakat Muslim di daerah ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, terutama sekali lantaran banyak terjadinya perkawinan di antara saudagar Muslim dengan wanita-wanita setempat, sehingga melahirkan keturunan dari percampuran darah Arab dan Persia dengan putri-putri Perlak. Keadaan ini membawa pada berdirinya kerajaan Islam Perlak pertama, pada hari selasa bulan Muharram, 840 M. Sultan pertama kerajaan ini merupakan keturunan Arab Quraisy bernama Maulana Abdul Azis Syah, bergelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah. Menurut Wan Hussein Azmi dalam Islam di Aceh, pedagang Arab dan Persia tersebut termasuk dalam golongan Syi'ah.

Wan Hussein Azmi mengaitkan kedatangan mereka dengan Revolusi Syi'ah yang terjadi di Persia tahun 744-747. Revolusi ini di pimpin Abdullah bin Mu'awiyah yang masih keturunan Ja'far bin Abi Thalib. Bin Mu'awiyah telah menguasai kawasan luas selama dua tahun (744-746) dan mendirikan istana di Istakhrah sekaligus memproklamirkan dirinya sebagai raja Madian, Hilwan, Qamis, Isfahan, Rai, dan bandar besar lainnya. Akan tetapi ia kemudian dihancurkan pasukan Muruan di bawah pimpinan Amir bin Dabbarah tahun 746 dalam pertempuran Maru Sydhan. Kemudian banyak pengikutnya yang melarikan diri ke Timur Jauh. Para ahli sejarah berpendapat, mereka terpencar di semenanjung Malaysia, Cina, Vietnam, dan Sumatera, termasuk ke Perlak.

Pendapat Wan Hussein Azmi itu diperkaya dan diperkuat sebuah naskah tua berjudul Idharul Haqq fi Mamlakatil Ferlah w'l-Fasi, karangan Abu Ishak Makarni al-Fasy, yang dikemukakan Prof. A. Hasjmi. Dalam naskah itu diceritakan tentang pergolakan sosial-politik di lingkungan Daulah Umayah dan Abbasiyah yang kerap menindas pengikut Syi'ah. Pada masa pemerintahan Khalifah Makmun bin Harun al-Rasyid (813-833), seorang keturunan Ali bin Abi Thalib, bernama Muhammad bin Ja'far Shadiq bin Muhammad Baqr bin Zaenal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, memberontak terhadap Khalifah yang berkedudukan di Baghdad dan memproklamirkan dirinya sebagai khalifah yang berkedudukan di Makkah.

Khalifah Makmun berhasil menumpasnya. Tapi Muhammad bin Ja'far Shadiq dan para tokoh pemberontak lainnya tidak dibunuh, melainkan diberi ampunan. Makmun menganjurkan pengikut Syi'ah itu meninggalkan negeri Arab untuk meluaskan dakwah Islamiyah ke negeri Hindi, Asia Tenggara, dan Cina. Anjuran itu pun lantas dipenuhi. Sebuah Angkatan Dakwah beranggotakan 100 orang pimpinan Nakhoda Khalifah yang kebanyakan tokoh Syi'ah Arab, Persia, dan Hindi ---termasuk Muhammad bin Ja'far Shadiq--- segera bertolak ke timur dan tiba di Bandar Perlak pada waktu Syahir Nuwi menjadi Meurah (Raja) Negeri Perlak. Syahir Nuwi kemudian menikahkan Ali bin Muhammad bin Ja'far Shadiq dengan adik kandungnya, Makhdum Tansyuri. Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernama Sayyid Abdul Aziz, dan pada 1 Muharram 225 H dilantik menjadi Raja dari kerajaan Islam Perlak dengan gelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah.

Kesimpulan : Islamisasi Aceh Bermula Sejak Zaman Nabi Muhammad saw

Dari beberapa teori di atas, dapatlah disimpulkan bahwa proses Islamisasi ke Aceh sudah terjadi sejak awal perkembangannya, ketika Nabi Muhammad saw masih hidup yang dilakukan oleh para saudagar Arab yang memang sudah hilir mudik berdagang dari Mesir, Aden, Muscat, Parsia, Gujarat ke Cina melalui Barus-Fansur yang dipastikan terletak di ujung barat pulau Sumatera. Para saudagar Arab pra-Islam diketahui sudah memiliki perkampungan di sekitar pesisir pulau Sumatera, terbentang dari Barus-Fansur, Jeumpa, Perlak sampai di Palembang pada zaman Kerajaan Hindu Sriwijaya.

Islamisasi Aceh mengalami puncaknya pada zaman Khalifah al-Rasyidin, terutama di zaman pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab yang gencar mengirimkan para duta yang merangkap sebagai pendakwah Islam sampai ke negeri Cina, pada sekitar awal abad ke VII Masehi. Cina menjadi tujuan dakwah para Khalifah berkaitan dengan sebuah hadits Nabi yang populer: tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina. Karena Cina pada zaman itu telah mencapai keemasaanya, sebagaimana Rumawi, Yunani ataupun Mesir dan Parsia sebagai pusat-pusat perdagangan, peradaban dan kemakmuran dunia yang jejaknya masih terekam jelas pada peta jalur sutera (silk road). Jalur ini kemudian dipindahkan ke jalur laut karena berkembang pesatnya teknologi kelautan dengan kapal-kapalnya yang mampu berlayar lama.

Para pembawa Islam datang langsung dari Semenanjung Arabia yang merupakan utusan resmi Khalifah atau para pedangan profesional Islam yang memang telah memiliki hubungan perdagangan dengan Aceh, sebagai daerah persinggahan dalam perjalanan menuju Cina. Hubungan yang sudah terbina sejak lama, yang melahirkan asimiliasi keturunan Arab-Aceh di sekitar pesisir ujung pulau Sumatra, telah memudahkan penyiaran Islam dengan bahasa asal mereka, yaitu bahasa Arab yang dengan al-Qur’an diturunkan. Pengaruh bahasa Aceh-Melayu dalam al-Qur’an dapat dijumpai pada kata kafuro, yang tidak pernah ada dalam bahasa Arab pra-Islam.

Hubungan baik antara masyarakat Aceh dengan pendatang dari Arab telah mendorong tumbuhnya perkampungan yang membesar menjadi Kerajaan-Kerajaan Islam sebagai pengganti Kerajaan-Kerajaan Hindu-Budha. Kerajaan Islam pertama di Aceh, yang juga merupakan Kerajaan Islam pertama di Nusantara adalah Kerajaan Islam Jeumpa yang didirikan oleh salah satu keturunan Nabi Muhammad yang melarikan diri dari Persia bernama Sasaniah Salman al-Parsi pada tahun 154 Hijriah atau sekitar tahun 777 Masehi. Kerajaan Jeumpa menjadi salah satu pusat Islamisasi di Nusantara, khususnya Aceh. Salah seorang Pangeran Jeumpa, Shahrnawi, yang namanya disebut oleh Syekh Hamzah Fansuri, menjadi pelopor pedirian Kerajaan Islam Perlak pada tahun 805 Masehi, dan mengangkat anak saudaranya, Maulana Abdul Aziz cicit dari Imam Ja’far Sidiq sebagai Sultan pertama Kerajaan Perlak pada tahun 840 M.

Maka jelaslah kebohongan Teori Gujarat yang dipopulerkan Snouck bersama antek-anteknya. Karena ternyata Islam berkembang sejak awal abad ke VII Masehi, lebih awal 600 tahun dari yang dikemukakan Teori Gujarat Snouck. Selanjutnya diharapkan para cendekiawan Muslim dapat mengadakan penelitian yang lebih mendalam lagi tentang sejarah masuknya Islam di Nusantara, terutama Aceh sebagai serambi Mekkah.(Hilmy Bakar | www.acehinstitute.org)