Minggu, April 27, 2008

Teori Islamisasi Aceh


Oleh : Hilmy Bakar | Pendiri dan Presiden Hilal Merah.
Sekarang menetap di Aceh sebagai Relawan Kemanusiaan dan Peneliti Sosial

Islamisasi Aceh Versi Snouck Hourgronje

Mengenai Islamisasi di Aceh, ada beberapa teori yang hingga kini masih sering dibahas, baik oleh sarjana-sarjana Barat maupun kalangan intelektual Islam sendiri. Salah satunya adalah teori masuknya Islam ke Aceh dari Gujarat, disebut juga sebagai Teori Gujarat. Teori ini berasal dari seorang orientalis asal Belanda yang seluruh hidupnya didedikasikan untuk menghancurkan Islam di Aceh yang tidak mampu dijajah Belanda. Orientalis ini bernama Snouck Hurgronje, yang demi mencapai tujuannya, ia mempelajari bahasa Arab dan Islam dengan sangat giat sampai ke Mesir dan Mekkah, mengaku sebagai seorang Ulama Muslim, dan bahkan mengawini seorang Muslimah, anak seorang tokoh di zamannya. Teori yang diusung oleh Snouck ini mengatakan Islam masuk ke Nusantara, termasuk Aceh dari wilayah-wilayah di anak benua India seperti Gujarat, Bengali. Ironisnya Teori ini masih dipakai dalam buku-buku sejarah sampai sekarang yang menjadi buku pegangan bagi para pelajar kita, dari tingkat sekolah dasar hingga lanjutan atas, bahkan di beberapa perguruan tinggi.

Dalam L’arabie et les Indes Neerlandaises, Snouck menyebutkan teori tersebut didasarkan pada pengamatan tidak terlihatnya peran dan nilai-nilai Arab yang ada dalam Islam pada masa-masa awal, yakni pada abad ke-12 atau 13. Snouck juga mengatakan, teorinya didukung dengan hubungan yang sudah terjalin lama antara wilayah Nusantara dengan daratan India. Sebetulnya, teori ini dimunculkan pertama kali oleh Pijnappel, seorang sarjana dari Universitas Leiden. Namun, nama Snouck yang paling besar memasarkan teori Gujarat ini. Salah satu alasannya adalah, karena Snouck dipandang sebagai sosok yang mendalami Islam. Teori ini diikuti dan dikembangkan oleh banyak sarjana Barat lainnya.

Teori Gujarat yang dikembangkan bahkan dipaksakan Snouck bersama antek-anteknya ini telah memberikan pengaruh yang besar terhadap sejarah dan jati diri bangsa Aceh selanjutnya. Pengkerdilan ini telah memutuskan mata rantai spiritualitas keislaman yang telah berurat berakar pada tradisi, budaya dan peradaban Aceh sebagai tapak awal Islamisasi Nusantara. Dampak psikologis yang paling kentara adalah kesan bahwa Aceh adalah salah satu wilayah yang baru tersentuh Islam, yang maknanya bahwa perkembangan peradaban Islam di Aceh baru beberapa abad.

Untuk menguak kepalsuan Teori Gujarat ini, ada beberapa teori yang ingin penulis sampaikan sebagai pembantah Teori Snouck di atas. Diantara teori itu adalah:

Teori Champa (Jeumpa) Versi Raffles

Gubernur Jendral Hindia Belanda dari Kerajaan Inggris yang juga seorang peneliti sosial, Sir TS. Raffles dalam bukunya The History of Java, menyebutkan bahwa Champa yang terkenal di Nusantara, bukan terletak di Kambodia sekarang sebagaimana dinyatakan oleh para peneliti Belanda. Tapi Champa adalah nama daerah di sebuah wilayah di Aceh, yang terkenal dengan nama ”Jeumpa”. Champa adalah ucapan atau logat Jeumpa dengan dialek ”Jawa”. Jeumpa (Champa) biasanya dihubungkan dengan sebuah peristiwa pada zaman kerajaan Majapahit, terutama pada masa pemerintahan Brawijaya V yang memiliki seorang istri yang dikenal dengan ”Puteri Champa”. Puteri inilah yang melahirkan Raden Fatah, yang kemudian menyerahkan pendididikan putranya kepada seorang pamannya yang dikenal dengan Sunan Ampel di Surabaya. Sejarah mencatat, Raden Fatah menjadi Sultan pertama dari Kerajaan Islam Demak, Kerajaan Islam pertama di tanah Jawa yang mengakhiri sejarah Kerajaan Hindu-Jawa Majapahit. Jeumpa yang dinyatakan Raffles sekarang berada di sekitar daerah Kabupaten Bireuen Aceh.

Kerajaan Jeumpa Aceh, berdasarkan Ikhtisar Radja Jeumpa yang di tulis Ibrahim Abduh, yang disadurnya dari hikayat Radja Jeumpa adalah sebuah Kerajaan yang benar keberadaannya pada sekitar abad ke VIII Masehi berada di sekitar daerah perbukitan mulai dari pinggir sungai Peudada di sebelah barat sampai Pante Krueng Peusangan di sebelah timur. Istana Raja Jeumpa terletak di desa Blang Seupeueng yang dipagari di sebelah utara, sekarang disebut Cot Cibrek Pintoe Ubeuet. Masa itu Desa Blang Seupeueng merupakan permukiman yang padat penduduknya dan juga merupakan kota bandar pelabuhan besar, yang terletak di Kuala Jeumpa. Dari Kuala Jeumpa sampai Blang Seupeueng ada sebuah alur yang besar, biasanya dilalui oleh kapal-kapal dan perahu-perahu kecil. Alur dari Kuala Jeumpa tersebut membelah Desa Cot Bada langsung ke Cot Cut Abeuk Usong atau ke ”Pintou Rayeuk” (pintu besar).

Menurut hasil observasi terkini di sekitar daerah yang diperkirakan sebagai tapak Maligai Kerajaan Jeumpa sekitar 80 meter ke selatan yang dikenal dengan Buket Teungku Keujereun, ditemukan beberapa barang peninggalan kerajaan, seperti kolam mandi kerajaan seluas 20 x 20 m, kaca jendela, porselin dan juga ditemukan semacam cincin dan kalung rantai yang panjangnya sampai ke lutut dan anting sebesar gelang tangan. Di sekitar daerah ini pula ditemukan sebuah bukit yang diyakini sebagai pemakaman Raja Jeumpa dan kerabatnya yang hanya ditandai dengan batu-batu besar yang ditumbuhi pepohonan rindang di sekitarnya.

Sebelum kedatangan Islam, di daerah Jeumpa sudah berdiri salah satu Kerajaan Hindu Purba Aceh yang dipimpin turun temurun oleh seorang bergelar Meurah. Awal abad ke VIII Masehi datang pemuda tampan bernama Abdullah yang memasuki pusat Kerajaan di kawasan Blang Seupeueng dengan kapal niaga yang datang dari India belakang (Parsi ?) untuk berdagang. Dia memasuki negeri Blang Seupeueng melalui laut lewat Kuala Jeumpa dan negeri ini sudah dikenal di seluruh penjuru serta mempunyai hubungan perdagangan dengan Cina, India, Arab dan lainnya. Selanjutnya Abdullah tinggal bersama penduduk dan menyiarkan agama Islam. Rakyat di negeri tersebut dengan mudah menerima Islam karena tingkah laku, sifat dan karakternya yang sopan dan sangat ramah. Dia dinikahkan dengan puteri Raja bernama Ratna Kumala. Akhirnya Abdullah dinobatkan menjadi Raja menggantikan bapak mertuanya, yang kemudian wilayah kekuasaannya dia berikan nama dengan Kerajaan Jeumpa, sesuai dengan nama negeri asalnya di India Belakang (Persia) yang bernama ”Champia”, yang artinya harum, wangi dan semerbak. Sementara Bireuen sebagai ibukotanya, berarti kemenangan, sama dengan Jayakarta (Jakarta) dalam bahasa Jawa.

Berdasarkan silsilah keturunan Sultan-Sultan Melayu, yang dikeluarkan oleh Kerajaan Brunei Darussalam dan Kesultanan Sulu-Mindanao, Kerajaan Islam Jeumpa pada 154 Hijriah atau sekitar tahun 777 Masehi dipimpin oleh seorang Pangeran dari Parsia (India Belakang ?) yang bernama Syahriansyah Salman atau Sasaniah Salman yang kawin dengan Puteri Mayang Seulodong dan memiliki beberapa anak, antara lain Shahri Duli, Shahri Tanti, Shahri Nawi, Shahri Dito dan Puteri Makhdum Tansyuri yang nantinya menjadi ibu dari Sultan pertama Kerajaan Islam Perlak. Menurut penelitian pakar sejarah Aceh, Sayed Dahlan al-Habsyi, Shahri adalah gelar pertama yang digunakan keturunan Nabi Muhammad di Nusantara sebelum menggunakan gelar Meurah, Habib, Sayid, Syarief, Sunan, Teuku dan lainnya. Syahri diambil dari nama istri Sayyidina Husein bin Ali, Puteri Shahri Banun, anak Maha Raja Parsia terakhir.

Mengenai keberadaan Shahri Nawi ini, disebutkan oleh Syekh Hamzah Fansuri. Syekh ini adalah Ulama Sufi dan sastrawan terkenal Nusantara yang berpengaruh dalam pembangunan Kerajaan Aceh Darussalam, yang juga merupakan guru Syamsuddin al-Sumatrani yang dikenal sebagai Syekh Islam Kerajaan Aceh Darussalam pada masa Iskandar Muda. A. Hasymi menyebutkan beliau juga adalah paman dari Maulana Syiah Kuala (Syekh Abdul Rauf al-Fansuri al-Singkili). Syekh Fansuri dalam beberapa kesempatan menyatakan asal muasalnya dan hubungannya dengan Shahri Nawi. Diantaranya dalam sebuah syair beliau:

Hamzah ini asalnya Fansuri

Mendapat wujud di tanah Shahrnawi

Beroleh khilafat ilmu yang ’ali

Daripada ’Abd al-Qadir Jilani

Hamzah di negeri Melayu,

Tempatnya kapur di dalam kayu

Dari rangkaian syair ini, maka jelaslah bahwa ada hubungan antara bumi Shahrnawi (Shahr Nawi) dengan Fansur yang menjadi asal muasal kelahiran Syekh Hamzah Fansuri dan tempat yang terkenal kafur Barus. Sebagaimana disebutkan di atas, Shahrnawi atau Syahr Nawi adalah anak daripada Pangeran Salman (Sasaniah Salman) yang lahir di daerah Jeumpa, di Aceh Bireuen saat ini. Syahrnawi adalah salah satu tokoh yang berpengaruh dalam pengembangan Kerajaan Islam Perlak, bahkan beliau dianggap arsitek pendiri kota pelabuhan Perlak pada tahun 805 M yang dipimpinnya langsung, dan diserahkan kepada anak saudaranya Maulana Abdul Aziz pada tahun 840 M. Kerajaan Islam Perlak selanjutnya berkembang menjadi Kerajaan Islam Pasai dan mendapat kegemilangannya pada masa Kerajaan Aceh Darussalam.

Maka tidak mengherankan jika Syekh Hamzah Fansuri, mengatakan kelahirannya di bumi Sharhnawi yang merupakan salah seorang generasi pertama pengasas Kerajaan-Kerajaan Aceh Islam yang dimulai dari Kerajaan Islam Jeumpa. Pernyataan Syekh Hamzah Fansuri ini juga menjadi hujjah yang menguatkan teori bahwa Jeumpa, asal kelahiran Shahrnawi adalah Kerajaan Islam pertama di Nusantara.

Teori Hubungan Dagang Arab-Cina

Sejak dahulu perdagangan antara negara-negara Timur dengan Timur Tengah dan Eropa berlangsung lewat dua jalur: jalur darat dan jalur laut. Jalur darat, yang juga disebut ”jalur sutra” (silk road), dimulai dari Cina Utara lewat Asia Tengah dan Turkistan terus ke Laut Tengah. Jalur perdagangan ini, yang menghubungkan Cina dan India dengan Eropa, merupakan jalur tertua yang sudah di kenal sejak 500 tahun sebelum Masehi. Sedangkan jalan laut dimulai dari Cina (Semenanjung Shantung) dan Indonesia, melalui Selat Malaka ke India; dari sini ke Laut Tengah dan Eropa, ada yang melalui Teluk Persia dan Suriah, dan ada juga yang melalui Laut Merah dan Mesir. Diduga perdagangan lewat laut antara Laut Merah, Cina dan Indonesia sudah berjalan sejak abad pertama sesudah Masehi. ( D.H.Burger dan Prajudi, Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1960, hlm. 15.)



Akan tetapi, karena sering terjadi gangguan keamanan pada jalur perdagangan darat di Asia Tengah, maka sejak tahun 500 Masehi perdagangan Timur-Barat melalui laut (Selat Malaka) menjadi semakin ramai. Lewat jalan ini kapal-kapal Arab, Persia dan India telah mondar mandir dari Barat ke Timur dan terus ke Negeri Cina dengan menggunakan angin musim, untuk pelayaran pulang pergi. Juga kapal-kapal Sumatra telah mengambil bagian dalam perdagangan tersebut. Pada zaman Sriwijaya, pedagang-pedagangnya telah mengunjungi pelabuhan-pelabuhan Cina dan pantai timur Afrika. Ramainya lalu lintas pelayaran di Selat Malaka, maka telah menumbuhkan kota-kota pelabuhan yang terletak di bagian ujung utara Pulau Sumatra. Perkembangan perdagangan yang semakin banyak di antara Arab, Cina dan Eropa melalui jalur laut telah menjadikan kota pelabuhan semakin ramai, termasuk di wilayah Aceh yang diketahui telah memiliki beberapa kota pelabuhan yang umumnya terdapat di beberapa delta sungai. Kota-kota pelabuhan ini dijadikan sebagai kota transit atau kota perdagangan. (M.A.P. Meilink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence in the Indonesia Archipelago. The Hague: Martinus Nijhoff, 1962, hlm. 345 (catatan 122).

Dalam Gerilya Salib di Serambi Makkah (Rizki Ridyasmara, Pustaka Alkautsar, 2006) menyebutkan Peter Bellwood, Reader in Archaeology di Australia National University, telah melakukan banyak penelitian arkeologis di Polynesia dan Asia Tenggara. Bellwood menemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa sebelum abad kelima masehi, beberapa jalur perdagangan utama telah berkembang menghubungkan kepulauan Nusantara dengan Cina. Temuan beberapa tembikar Cina serta benda-benda perunggu dari zaman Dinasti Han dan zaman-zaman sesudahnya di selatan Sumatera dan di Jawa Timur membuktikan hal ini.

Dalam catatan kakinya Bellwood menulis, “Museum Nasional di Jakarta memiliki beberapa bejana keramik dari beberapa situs di Sumatera Utara. Selain itu, banyak barang perunggu Cina, yang beberapa di antaranya mungkin bertarikh akhir masa Dinasti Zhou (sebelum 221 SM), berada dalam koleksi pribadi di London. Benda-benda ini dilaporkan berasal dari kuburan di Lumajang, Jawa Timur, yang sudah sering dijarah…” Bellwood dengan ini hendak menyatakan bahwa sebelum tahun 221 SM, para pedagang pribumi diketahui telah melakukan hubungan dagang dengan para pedagang dari Cina.

Masih menurutnya, perdagangan pada zaman itu di Nusantara dilakukan antar sesama pedagang, tanpa ikut campurnya kerajaan, jika yang dimaksudkan kerajaan adalah pemerintahan dengan raja dan memiliki wilayah yang luas. Sebab kerajaan Budha Sriwijaya yang berpusat di selatan Sumatera baru didirikan pada tahun 607 Masehi (Wolters 1967; Hall 1967, 1985). Tapi bisa saja terjadi, “kerajaan-kerajaan kecil” yang tersebar di beberapa pesisir pantai sudah berdiri, walau yang terakhir ini tidak dijumpai catatannya.

Adanya jalur perdagangan utama dari Nusantara—terutama Sumatera dan Jawa—dengan Cina juga diakui oleh sejarahwan G.R. Tibbetts. Bahkan Tibbetts-lah orang yang dengan tekun meneliti hubungan perniagaan yang terjadi antara para pedagang dari Jazirah Arab dengan para pedagang dari wilayah Asia Tenggara pada zaman pra Islam. Tibbetts menemukan bukti-bukti adanya kontak dagang antara negeri Arab dengan Nusantara saat itu. “Keadaan ini terjadi karena kepulauan Sumatra telah menjadi tempat persinggahan kapal-kapal pedagang Arab yang berlayar ke negeri Cina sejak abad kelima Masehi, ” (Tibbetts; Pre Islamic Arabia and South East Asia, JMBRAS, 19 pt. 3, 1956, hal. 207. Dr. Ismail Hamid “Kesusastraan Indonesia Lama Bercorak Islam” (Pustaka Al-Husna, Jakarta, cet. 1, 1989, hal. 11).

Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok juga menyebutkan bahwa menjelang seperempat tahun 700 M atau sekitar tahun 625 M—hanya berbeda 15 tahun setelah Rasulullah menerima wahyu pertama atau sembilan setengah tahun setelah Rasulullah berdakwah terang-terangan kepada bangsa Arab—di sebuah pesisir pantai Sumatera sudah ditemukan sebuah perkampungan Arab Muslim yang masih berada dalam kekuasaan wilayah Kerajaan Budha Sriwijaya.

Temuan ini diperkuat Prof. Dr. HAMKA yang menyebut bahwa seorang pencatat sejarah Tiongkok yang mengembara pada tahun 674 M telah menemukan sekelompok bangsa Arab yang membuat kampung dan berdiam di pesisir Barat Sumatera. Ini sebabnya, HAMKA menulis bahwa penemuan tersebut telah mengubah pandangan orang tentang sejarah masuknya agama Islam di Tanah Air. HAMKA juga menambahkan bahwa temuan ini telah diyakini kebenarannya oleh para pencatat sejarah dunia Islam di Princetown University di Amerika. (Prof. Dr. HAMKA, Dari Perbendaharaan Lama; Pustaka Panjimas; cet.III; Jakarta; 1996; Hal. 4-5).

Dalam kitab sejarah Cina yang berjudul Chiu T’hang Shu disebutkan pernah mendapat kunjungan diplomatik dari orang-orang Ta Shih, sebutan untuk orang Arab, pada tahun tahun 651 Masehi atau 31 Hijirah. Empat tahun kemudian, dinasti yang sama kedatangan duta yang dikirim oleh Tan mi mo ni’. Tan mi mo ni’ adalah sebutan untuk Amirul Mukminin. Dalam catatan tersebut, duta Tan mi mo ni’ menyebutkan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dan sudah tiga kali berganti kepemimpinan. Artinya, duta Muslim tersebut datang pada masa kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan.

Biasanya, para pengembara Arab ini tak hanya berlayar sampai di Cina saja, tapi juga terus menjelajah sampai di Timur Jauh. Jauh sebelum penjelajah dari Eropa punya kemampuan mengarungi dunia, terlebih dulu pelayar-pelayar dari Arab dan Timur Tengah sudah mampu melayari rute dunia dengan intensitas yang cukup padat. Pada masa Dinasti Umayyah, ada sebanyak 17 duta Muslim yang datang ke Cina. Pada Dinasti Abbasiyah dikirim 18 duta ke negeri Cina. Bahkan pada pertengahan abad ke-7 sudah berdiri beberapa perkampungan Muslim di Kanfu atau Kanton.

Setelah abad ke-7 M, Islam sudah berkembang pesat, misalnya menurut laporan sejarah negeri Tiongkok bahwa pada tahun 977 M, seorang duta Islam bernama Pu Ali (Abu Ali) diketahui telah mengunjungi negeri Tiongkok mewakili sebuah negeri di Nusantara (Kerajaan Islam Perlak). (F. Hirth dan W. W. Rockhill (terj), Chau Ju Kua, His Work On Chinese and Arab Trade in XII Centuries, St.Petersburg: Paragon Book, 1966, hal. 159).

T. W. Arnold dalam “The Preaching of Islam” (1968) juga menguatkan temuan bahwa agama Islam telah dibawa oleh mubaligh-mubaligh Islam asal jazirah Arab ke Nusantara sejak awal abad ke-7 M.

Teori Kapur Dari Fansur-Barus

Fansur atau Barus adalah tempat yang dikaitkan dengan kota asal kayu kamper sebagai penghasil kapur (kamfer atau al-kafur dalam bahasa Arab) yang terdapat dalam banyak sumber asli Arab, Persia, dan China dalam berbagai buku perjalanan, botani, kedokteran, dan pengobatan. Kapur, yang dalam bahasa Latin disebut camphora, merupakan bagian dalam (inti) kayu kamfer yang padat berisi minyak yang harum.

Al-Kindi, salah seorang intelektual Arab, menyebutkan kapur barus sebagai salah satu unsur penting untuk membuat wangi-wangian. Sekitar abad ke-8, kapur barus merupakan salah satu dari lima rempah dasar dalam ilmu kedokteran Arab dan Persia. Empat unsur yang lain adalah kesturi, ambar abu-abu, kayu gaharu, dan safran. Pada zaman Abbasiyah, hanya orang kaya dan para pemimpin saja yang menggunakan pewangi dari air kapur barus untuk cuci tangan selepas perjamuan makan.

Ibnu Sina atau yang dalam literatur Eropa dikenal sebagai Aveceena, dalam bukunya yang terkenal tentang ensiklopedia pengobatan dan obat-obatan, al-Qanun Fi al-Tib, mencatat manfaat kamfer sebagai obat penenang dan mendinginkan suhu badan yang tinggi. Kamfer juga dipakai sebelum dan sesudah pembedahan, sebagai obat liver, obat diare, sakit kepala, mimisan, dan sariawan. Kapur barus juga dipakai untuk memandikan jenazah sebelum dikuburkan. Variasi penggunaan kapur barus ini menyebabkan nilai jualnya sangat tinggi. Manfaat kapur barus ini kemudian menyebar ke Yunani dan Armenia karena pada periode tersebut ilmu kedokteran dari Arab dan Persia menjadi acuan dunia.

Di akhir abad ke-4 M, istilah "P'o-lu" yang berarti Barus mulai dikenal oleh Bangsa Cina. Istilah ini diketahui sebagai rujukan kepada seluruh wilayah utara Sumatera. Barulah pada akhir abad ke-9, seorang ahli geografi Arab, Ibn Khurdadhbih menyebutkan nama Ram(n)i: "Di belakang Serendib terletak daerah Ram(n)I, dimana hewan badak dapat ditemukan… Pulau ini menghasilkan pohon bambu dan kayu Brazil, akar-akar yang dapat digunakan sebagai obat anti racun-racun mematikan…Di negeri ini juga tumbuh pohon-pohon kapur yang tinggi,"( Tibbetts, Arabic Texts, pp. 27-28).

Kira-kira pada abad yang sama, sebuah buku Akhbar al-Sin wa al-Hind juga menyebutkan nama Ramni: "Ramni (yang) terdapat didalamnya gajag-gajah dalam jumlah yang banyak berserta kayu Brazil dan bambu. Pulau itu dikelilingi oleh dua lautan..Harkand dan dan Salahit" (Ibid, p. 25). Nama Ramni atau Ram(n)I, kemungkinan besar, dengan melihat peta dan posisi Sri Lanka atau Serendib, adalah Sumatera bagian utara dan lebih tepatnya lagi timur laut Aceh. (The sea of Harkand was the Bay of Bengal. Salaht (or Salahit) is believed to be derived from the Malay word selat or Straits, i.e., what is now known as the Selat Melaka. Wolters, Early Indonesian Commerce, p. 178)

Abu Zaid Hasan pada tahun 916 M, saat dia menjelaskan penguasa Maharaja Zabaj (Sriwijaya) menyebut juga Ranmi: "nama pulau tersebut adalah Rami (Ramni) yang luasnya delapan ratus parasangs (From the Persian farsakh, it was approximately 3 Y2 miles in extent. Tibbetts, Arabic Texts, p. 3) di daerah tersebut. Di sana dapat ditemukan kayu Brazil, kapur dan tumbuhan lainnya."

Pada tahun 943, Masudi mencatat: “Kira-kira seribu parasangs (dari Serendib) masih terdapat sebuah pulau yang bernama Ramin (yakni Ramni) yang dihuni dan diperintah oleh raja-raja. Daerah tersebut penuh dengan tambang emas, dan dekat dengan tanah Fansur, yang menjadi asal kapur fansur, yang hanya dapat ditemukan di Fansur dengan jumlah yang besar dalam tahun-tahun yang penuh dengan topan dan gempa bumi. (Ibid.,pp. 37-38)

'Ajaib al-Hind', yang ditulis tahun 1000 M, menjelaskan banyak referensi mengenai Lambri. Muhammad ibn Babishad melaporkan: ”Di Pulau Lamuri terdapat zarafa (Tibbetts, Arabic Texts, p. 140.) yang tingginya tidak terkira. Dikatakan bahwa pelaut-pelaut yang terdampar di Fansur, terpaksa harus pindah ke Lamuri. Mereka mengungsi di waktu malam karena takut dengan zarafa; karena mereka tidak muncul di siang hari… Di pulau ini juga terdapat semut-semut raksasa dalam jumlah besar, terutama di kawasan Lamuri ”.... "Lububilank, yang merupakan sebuah teluk, (Tibbetts identifies this with Lho' Belang Raya (Telok Balang), 5°32f N, 95°17' E. Ibid., p. 141) terdapat orang-orang yang memakan manusia. Orang-orang kanibal ini mempunyai ekor, dan menghuni tanah antara Fansur dan Lamuri." (Ibid., pp 44-45)

Lambri dalam karya para ahli geografi Arab tidak dijelaskan lebih lanjut. Ramni juga disebutkan oleh Biruni pada tahun 1030. (Ibid., p.50). Nama tersebut juga ditulis dalam teks Dimashqi di tahun 1325. (Cowan,"Lamuri," p. 421).

Satu-satunya sumber India menyebutkan Lambri dalam transkrip Tanjore dari Bangsa Tamil dalam pemerintahan Rajendra Cola, dimana nama "Ilamuridesam yang sangat murka terlibat dalam perang" disebutkan bersama toponim lain sebagai daerah target-target penggempuran mereka pada tahun 1025. (K. A. Nilakanta Sastri, History of Srivijaya (Madras: University of Madras, 1949), pp. 80, 81.)

Ahli geografi Cina Chou Ch'u-fei menulis, pada tahun 1178, nama Lan-li dimana kapal-kapal dari Canton atau Guangdong sering merapat sambil menunggu bulan purnama untuk memudahkan mereka berlayar menuju Lautan India tepatnya Sri Lanka dan India. Lihat Almut Netolitzky, Das Ling-wai Tai-ta von Chou-chu-fei, Weisbaden: Heiner Verlag, 1977), pp. 40-41)

Hampir lima puluh tahun kemudian, Chau Ju-kua menyebut Lan-wu-li, dan melaporkan bahwa; "Hasil-hasil produksi kerajaan Lan-wu-li adalah kayu sapan (Brazilwood (Caesalpinia sappan, Linn.), gading gajah dan rotan putih. Penduduknya menyukai perang dan sering menggunakan panah beracun. Dengan angin utara, pelaut dapat berlayar selama dua puluh hari ke Silan…."(Friedrich Hirth and W. W. Rockhill, Chau Ju-kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, Entitled Chu-fan-chi (St. Petersburg: Imperial Academy of Sciences, 1911), p. 72). Dia selanjutnya mendukung informasi yang diberikan oleh Chou Ch'u-fei: ”Ta-shi terletak di Timur Laut dari Ts'uan-chou dengan jarak yang sangat jauh, jadi kapal-kapal asing kesulitan untuk melakukan pelayaran langsung. Setelah kapal-kapal tersebut meninggalkan Ts'uan-chou mereka akan berlayar terlebih dahulu selama empat puluh hari ke Lan'li, dimana mereka akan menyempatkan diri untuk berdagang. Tahun berikutnya akan kembali ke laut, dengan dukungan angin mereka akan menghabiskan enam puluh hari untuk melanjutkan perjalanan. (Ibid., p. 114.)

Marco Polo, sekembalinya dari Cina ke Eropa tahun 1292, menyebutkan, selain Perlak yang sudah memeluk Islam, nama Lambri bersama lima kerajaan kafir lainnnya. Dia menulis bahwa; "Penduduknya penyembah berhala, dan menyebut dirinya hamba Kaan yang agung. Mereka memiliki kapur dalam jumlah yang besar dan sejumlah spesis lainnya. Mereka juga memiliki kayu brazil dalam jumlah yang besar…" Di tahun 1284 dan juga tahun 1286, Lambri dilaporkan mengirimkan upeti kepada Dinasti Yuan di China. Henry Yule and Henri Cordier, The Book of Ser Marco Polo, 2 vols. (Reprint, Amsterdam: Philo Press, 1975), 2:299)

Seorang musafir Persia, Rashiduddin, pada tahun 1310 menulis bahwa para saudagar dari berbagai negara sering datang ke Lamori, dan pada tahun 1323, Friar Odoric dari Pordenone menjelaskan bahwa Lambri merupakan pusat perdagangan di mana para saudagar dari negara-negara yang sangat jauh, dan kapur, emas dan pohon gaharu juga tersedia. Di sini dia kehilangan pandangan terhadap bintang utara. (Yule and Cordier, Ser Marco Polo, p. 300, n. 1.

Wang Ta-yuan pada tahun 1349, menulis tentang Nan-wu-li, yang katanya: ”Tempat ini merupakan pusat perdagangan yang sangat penting di Nan-wu-li. Pegunungan raksasa bak gelombang terdapat dibelakangnya, terletak di pinggiran laut Jih-yueh wang yang sangat diragukan di sana ada tanah. Penduduk setempat hidup di sepanjang bukit, setiap keluarga tinggal di rumah masing-masing. Masing-masing lelaki dan wanita menggulung rambut mereka dalam sanggul di atas namun membiarkan bagian atas tubuh mereka terbuka, dan bagian bawah dibungkus sarung. Buminya sangat tandus, panennya sangat jarang, dan iklimnya sangat panas. Sebagai kebiasaan, mereka tunduk kepada bajak laut seperti orang-orang di Niu-tan-his (Tumasek). Komoditas lokal adalah sarang burug, cangkang kura-kura, cangkang penyu dan kayu laka, yang sangat bermutu dalam hal aroma. Komoditas yang biasanya diperdagangkan di sini adalah emas, perak, aksesoris besi, bunga mawar, muslin merah, kapur, porcelin dengan desain biru dan putih dan lain-lain.”

Pada tahun 1365, Kronik Jawa, Negarakrtagama, menggambarkan Lamuri sebagai negara yang tergantung kepada Majapahit. (Th. C. Th. Pigeaud, Jam in the Fourteenth Century, 5 vols. (The Hague: Nyhoff, I960), 1:11)

Ma Huan yang menulis pada awal tahun 15 M, menyebutkan Nan-po-li, yang dikunjungi oleh kapal induk dinasti Ming, dengan nakhoda Cheng Ho: ”Kerajaan ini terletak di samping laut, dan penduduknya terdiri dari hanya seribu keluarga. Semuanya Muslim, dan mereka sangat jujur dan tulus. Di bagian timur teritori itu, terletak sebuah negeri bersama Li-tai, dan di bagian barat dan utara terletak lautan luas; jika anda pergi ke selatan, terdapat pegunungan; dan di bagian selatan pegunungan tersebut terletak lagi lautan. (Mills, Ma Huan, pp. 122-23). Ma Huan juga menyebutkan nama Pulai Wei, sebuah pulau sekitar sembilan mil lauty di lepas pantai Timur Laut Aceh yang juga terdapat pelabuhan alami yang bagus, sekarang terdapat pelabuhan Sabang. Pulau Wei sering disebutkan dalam sumber-sumber sejarah dan dalam terjemahan bahasa Cina bernama "pulau Hat". Ch'ieh-nan-mao, sebuah daerah penghasil kayu gaharu.

Ma Huan menggambarkan Pulau Wei: ”Terletak di arah laut Timur Laut Lambri, dimana terdapat pegunungan raksasa yang sangat curam, yang dapat dicapai dengan setengah hari perjalanan; namanya pegunungan Mao. Di bagian barat pegunungan ini, juga, terdapat lautan luas; ini namanya Samudra Barat yang disebut Samudra Nan-mo-li, kapal-kapal yang datang dari Samudra dari arah barat berlabuh di sini, dan mereka melihat pegunungan ini sebagai petunjuk arah.

Di laut yang dangkal, sekitar dua cang dalamnya, di pinggir pegunungan, tumbuh pohon-pohon laut; penduduk di sana mengumpulkannya dan menjualnya sebagai komoditas yang berharga. Ini namanya karang. Kerajaan ini tunduk kepada jurisdiksi kerajaan Nan-po-li. (Ibid., pp. 123-124)

Awal abad ke-16 M, Tome Pires memberikan gambaran yang lebih tepat mengenai lokasi Lambri. Dia mengatakan bahwa; "Aceh merupakan negara pertama di bagian pulau Sumatera, dan Lambri benar-benar di bagian kanannya, yang terletak menjorok ke darat dan tanah Biar terletak antara Aceh dan Pidie, dan sekarang negeri-negeri ini tunduk kepada Aceh dan memerintah di kedua wilayah tersebut dan dialah raja satu-satunya di sana. Raja ini adalah Moo…".

Walaupun istilah Lambri dan beberapa versi lainnya biasanya ditujukan kepada seluruh pantai utara Aceh, nampaknya hal tersebut di atas menunjukkan pada titik tertentu yang menjadi informasi kepada pelayaran yang aman dari ombak Teluk Bengal, sebuah sumber air segar. Buku Hikayat Atjeh juga memberikan petunjuk. Pada halaman 17 dari manuskrip tersebut, diterbitkan oleh Teuku Iskandar, terdapat sebuah petunjuk mengenai Lambri, "teluk Lambri".

Walaupun Chau Ju-kua tidak menyebutkan kapur diperdagangkan di Lambri, tapi diduga bahwa Ujung Pancu dan Kuala Pancu di Lhok Lambro dekat banda Aceh kemungkinan besar sangat berhubungan dengan Fansur. Kapal-kapal yang harus memutar di Ujung Pancu, harus melalui Lambri ke Barus. Nama Lambri dan Barus, makanya, sering dibingungkan dalam pelayaran kuno karena eratnya kedua kota ini.

Chia Tan yang menulis buku pada era awal abad ke-8, menyebutkan pelabuhan P'o-lu, merupakan daerah yang kaya dengan emas, mercury dan kapur. Pelabuhan tersebut merupakan titip kepergian bagi kapal-kapal yang datang dari Sriwijaya barat melalui Samudera India ke Sri Langka.

Sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus, salah seorang ahli Georafi dan Gubernur Kerajaan Yunani yang berpusat di Aleksandria Mesir, pada abad ke-2 Masehi, juga telah menyebutkan bahwa di pesisir barat Sumatera yang menjadi jalan ke Tiongkok terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang dikenal menghasilkan wewangian dari kapur barus. Disebutkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5000 tahun sebelum Masehi.

Teori Kaafuro Dalam al-Qur’an

Hubungan erat Aceh-Melayu dengan dunia Arab juga dapat ditelusuri dari beberapa kata di dalam al-Qur’an. Sebagaimana diketahui al-Qur’an adalah kumpulan wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui perantaraan malaikat Jibril as sejak pertama diangkat menjadi Nabi di Gua Hira’ sampai beliau wafat di Madinah pada tahun 10 Hijriah. Sampai saat ini tidak ada satupun manusia yang dapat menyanggah bahwa al-Qur’an dengan segala kemukjizatannya bukan berasal dari Allah Sang Pencipta. Karena mana mungkin seorang yang buta huruf seperti Nabi Muhammad dapat menbuat sebuah kitab agung yang memiliki gaya bahasa Arab tertinggi dan tidak mampu dijangkau oleh seorang pujangga teragung sekalipun. Karena al-Qur’an bukan hanya kitab sastra, tapi kitab hukum, undang-undang, pengetahuan, politik dan seterusnya yang disampaikan dengan untaian indah. Terlalu banyak makhluk yang tertegun dengan keindahan al-Qur’an.(lihat: al-Wahyu al-Muhammady, M. Rasyid Ridha)

Telah disepakati para Ulama, bahwa al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, sebagaimana dinyatakan al-Qur’an sendiri. Namun bahasa Arab al-Qur’an adalah bahasa Arab tertinggi yang telah melahirkan gramatika bahasa Arab kontemporer. Para ulama juga berpendapat ada beberapa kata al-Qur’an yang bukan berasal dari bahasa Arab asli, namun bahasa non Arab yang sudah banyak digunakan dan dimengerti oleh masyarakat Arab. (lihat: Mafhum fie Ulum al-Qur’an, Ash-Shabuni)

Salah satu bahasa Aceh-Melayu yang sudah tersebar di dunia Arab, termasuk Mesir sejak zaman kekuasaan Ramses (Fir’aun) adalah kafur. Sebagaimana dijelaskan terdahulu dalam teori kafur Barus, bahwa kafur min barus adalah sebuah komuditas mewah wangi-wangian yang berasal dari inti kayu kamfer yang dalam bahasa latin dikenal dengan champora. Tidak diragukan bahwa penghasil terbesar kapur zaman itu adalah wilayah yang terletak di ujung barat pulau Sumatera, yang sekarang berada di wilayah Aceh. Bahkan dalam teori terdahulu telah disebutkan banyak dalil tentang Barus-Fansur awal, yang berada di sekitar Lamuri-Aceh.

Pada al-Qur’an surat al-Insan (76) ayat ke 5 menyebutkan: Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan akan meminum dari gelas, minuman yang dicampur kafur. Kebanyakan mufassirin dalam tafsirnya masing-masing seperti Ibn. Abbas, Jalalain, al-Qurthubi, Ibn Katsir dan lain-lainnya, mengartikan kafur sebagai campuran dari minuman yang merehatkan, nikmat, yang dapat membuat tenang dan biasanya dijadikan obat. Walaupun ada yang menyebutkan sebagai nama mata air di syurga. Pendapat pertama lebih banyak dirujuk mengingat penggunaan kafur yang sudah umum sebagai bahan obat-obatan, wangi-wangian dan bahan perisa di dunia Arab pra-Islam seperti di Alexenderia Mesir dan lainnya. Namun hampir semuanya sepakat bahwa kata ini bukan asli bahasa Arab, sebagaimana disebutkan Ibn Manzhur dalam Lisan al-Arab karena tidak ditemukan dalam bahasa Arab Jahiliyah atau bahasa Arab purba. Maka dengan demikian, tidak diragukan bahwa kata kafur yang dimaksudkan al-Qur’an adalah kapur dari Barus sebagai lambang kemewahan pada zaman itu .

Dengan terdapatnya kata kafur di dalam al-Qur’an, maka dapat diartikan bahwa daerah penghasil kafur yang paling populer di seluruh dunia, seperti Barus, Fansur, Lamri dan sekitarnya di wilayah Aceh, tentu telah berhubungan erat dengan masyarakat tempat al-Qur’an diturunkan, yaitu masyarakat Arab. Saking populernya kafur dalam masyarakat Arab sebagai sebuah simbol kenikmatan, sehingga dimasukkan sebagai kata dalam al-Qur’an. Jika kita boleh mengambil hikmah dimasukkannya kata kafur ke dalam al-Qur’an, Sang Sumber al-Qur’an mudah-mudahan bermaksud untuk memberi perhatian dan kehormatan pada asal benda ini, Aceh, sebagai kawasan yang memiliki peranan penting dalam penyebaran agama-Nya. Dan memang sejarah telah membuktikan bahwa Aceh telah menjadi tapak persemaian penting Islam di Nusantara yang telah melahirkan Kerajaan-Kerajaan Islam yang sangat berpengaruh dalam proses Islamisasi dan menggusur peran Hindu-Budha. Hanya Allah Yang Maha Tahu..........

Teori Korespondensi Khalifah Abdul Aziz-Raja Sri Indravarman

Ibn Abd Al Rabbih dalam karyanya Al Iqd al Farid sebagaimana dikutip Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII menyebutkan ada proses korespondensi yang berlangsung antara raja Sriwijaya kala itu Sri Indravarman dengan khalifah Umar bin Abdul Azis yang terkenal adil tersebut.

“Dari Raja di Raja [Malik al Amlak] yang adalah keturunan seribu raja; yang istrinya juga cucu seribu raja; yang di dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah; yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wanginya hingga menjangkau jarak 12 mil; kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekadar tanda persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya,”

Diperkirakan hubungan diplomatik antara kedua pemimpin wilayah ini berlangsung pada tahun 100 Hijriah atau 718 Masehi. Tak dapat diketahui apakah selanjutnya Sri Indravarman memeluk Islam atau tidak. Tapi hubungan antara Sriwijaya dan pemerintahan Islam di Arab menjadi penanda babak baru Islam di Nusantara. Jika awalnya Islam masuk memainkan peranan hubungan ekonomi dan dagang, maka kini telah berkembang menjadi hubungan politik keagamaan. Dan pada kurun waktu ini pula Islam mengawali kiprahnya memasuki kehidupan raja-raja dan kekuasaan di wilayah-wilayah Nusantara.

Teori Kerajaan Islam Perlak

Perlak pada tahun 805 Masehi adalah bandar pelabuhan yang dikuasai pedagang keturunan Parsi yang dipimpin seorang keturunan Raja Islam Jeumpa Pangeran Salman al-Parsi dengan Putri Manyang Seuludong bernama Meurah Shahr Nuwi. Sebagai sebuah pelabuhan dagang yang maju dan aman menjadi tempat persinggahan kapal dagang Muslim Arab dan Persia. Akibatnya masyarakat Muslim di daerah ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, terutama sekali lantaran banyak terjadinya perkawinan di antara saudagar Muslim dengan wanita-wanita setempat, sehingga melahirkan keturunan dari percampuran darah Arab dan Persia dengan putri-putri Perlak. Keadaan ini membawa pada berdirinya kerajaan Islam Perlak pertama, pada hari selasa bulan Muharram, 840 M. Sultan pertama kerajaan ini merupakan keturunan Arab Quraisy bernama Maulana Abdul Azis Syah, bergelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah. Menurut Wan Hussein Azmi dalam Islam di Aceh, pedagang Arab dan Persia tersebut termasuk dalam golongan Syi'ah.

Wan Hussein Azmi mengaitkan kedatangan mereka dengan Revolusi Syi'ah yang terjadi di Persia tahun 744-747. Revolusi ini di pimpin Abdullah bin Mu'awiyah yang masih keturunan Ja'far bin Abi Thalib. Bin Mu'awiyah telah menguasai kawasan luas selama dua tahun (744-746) dan mendirikan istana di Istakhrah sekaligus memproklamirkan dirinya sebagai raja Madian, Hilwan, Qamis, Isfahan, Rai, dan bandar besar lainnya. Akan tetapi ia kemudian dihancurkan pasukan Muruan di bawah pimpinan Amir bin Dabbarah tahun 746 dalam pertempuran Maru Sydhan. Kemudian banyak pengikutnya yang melarikan diri ke Timur Jauh. Para ahli sejarah berpendapat, mereka terpencar di semenanjung Malaysia, Cina, Vietnam, dan Sumatera, termasuk ke Perlak.

Pendapat Wan Hussein Azmi itu diperkaya dan diperkuat sebuah naskah tua berjudul Idharul Haqq fi Mamlakatil Ferlah w'l-Fasi, karangan Abu Ishak Makarni al-Fasy, yang dikemukakan Prof. A. Hasjmi. Dalam naskah itu diceritakan tentang pergolakan sosial-politik di lingkungan Daulah Umayah dan Abbasiyah yang kerap menindas pengikut Syi'ah. Pada masa pemerintahan Khalifah Makmun bin Harun al-Rasyid (813-833), seorang keturunan Ali bin Abi Thalib, bernama Muhammad bin Ja'far Shadiq bin Muhammad Baqr bin Zaenal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, memberontak terhadap Khalifah yang berkedudukan di Baghdad dan memproklamirkan dirinya sebagai khalifah yang berkedudukan di Makkah.

Khalifah Makmun berhasil menumpasnya. Tapi Muhammad bin Ja'far Shadiq dan para tokoh pemberontak lainnya tidak dibunuh, melainkan diberi ampunan. Makmun menganjurkan pengikut Syi'ah itu meninggalkan negeri Arab untuk meluaskan dakwah Islamiyah ke negeri Hindi, Asia Tenggara, dan Cina. Anjuran itu pun lantas dipenuhi. Sebuah Angkatan Dakwah beranggotakan 100 orang pimpinan Nakhoda Khalifah yang kebanyakan tokoh Syi'ah Arab, Persia, dan Hindi ---termasuk Muhammad bin Ja'far Shadiq--- segera bertolak ke timur dan tiba di Bandar Perlak pada waktu Syahir Nuwi menjadi Meurah (Raja) Negeri Perlak. Syahir Nuwi kemudian menikahkan Ali bin Muhammad bin Ja'far Shadiq dengan adik kandungnya, Makhdum Tansyuri. Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernama Sayyid Abdul Aziz, dan pada 1 Muharram 225 H dilantik menjadi Raja dari kerajaan Islam Perlak dengan gelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah.

Kesimpulan : Islamisasi Aceh Bermula Sejak Zaman Nabi Muhammad saw

Dari beberapa teori di atas, dapatlah disimpulkan bahwa proses Islamisasi ke Aceh sudah terjadi sejak awal perkembangannya, ketika Nabi Muhammad saw masih hidup yang dilakukan oleh para saudagar Arab yang memang sudah hilir mudik berdagang dari Mesir, Aden, Muscat, Parsia, Gujarat ke Cina melalui Barus-Fansur yang dipastikan terletak di ujung barat pulau Sumatera. Para saudagar Arab pra-Islam diketahui sudah memiliki perkampungan di sekitar pesisir pulau Sumatera, terbentang dari Barus-Fansur, Jeumpa, Perlak sampai di Palembang pada zaman Kerajaan Hindu Sriwijaya.

Islamisasi Aceh mengalami puncaknya pada zaman Khalifah al-Rasyidin, terutama di zaman pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab yang gencar mengirimkan para duta yang merangkap sebagai pendakwah Islam sampai ke negeri Cina, pada sekitar awal abad ke VII Masehi. Cina menjadi tujuan dakwah para Khalifah berkaitan dengan sebuah hadits Nabi yang populer: tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina. Karena Cina pada zaman itu telah mencapai keemasaanya, sebagaimana Rumawi, Yunani ataupun Mesir dan Parsia sebagai pusat-pusat perdagangan, peradaban dan kemakmuran dunia yang jejaknya masih terekam jelas pada peta jalur sutera (silk road). Jalur ini kemudian dipindahkan ke jalur laut karena berkembang pesatnya teknologi kelautan dengan kapal-kapalnya yang mampu berlayar lama.

Para pembawa Islam datang langsung dari Semenanjung Arabia yang merupakan utusan resmi Khalifah atau para pedangan profesional Islam yang memang telah memiliki hubungan perdagangan dengan Aceh, sebagai daerah persinggahan dalam perjalanan menuju Cina. Hubungan yang sudah terbina sejak lama, yang melahirkan asimiliasi keturunan Arab-Aceh di sekitar pesisir ujung pulau Sumatra, telah memudahkan penyiaran Islam dengan bahasa asal mereka, yaitu bahasa Arab yang dengan al-Qur’an diturunkan. Pengaruh bahasa Aceh-Melayu dalam al-Qur’an dapat dijumpai pada kata kafuro, yang tidak pernah ada dalam bahasa Arab pra-Islam.

Hubungan baik antara masyarakat Aceh dengan pendatang dari Arab telah mendorong tumbuhnya perkampungan yang membesar menjadi Kerajaan-Kerajaan Islam sebagai pengganti Kerajaan-Kerajaan Hindu-Budha. Kerajaan Islam pertama di Aceh, yang juga merupakan Kerajaan Islam pertama di Nusantara adalah Kerajaan Islam Jeumpa yang didirikan oleh salah satu keturunan Nabi Muhammad yang melarikan diri dari Persia bernama Sasaniah Salman al-Parsi pada tahun 154 Hijriah atau sekitar tahun 777 Masehi. Kerajaan Jeumpa menjadi salah satu pusat Islamisasi di Nusantara, khususnya Aceh. Salah seorang Pangeran Jeumpa, Shahrnawi, yang namanya disebut oleh Syekh Hamzah Fansuri, menjadi pelopor pedirian Kerajaan Islam Perlak pada tahun 805 Masehi, dan mengangkat anak saudaranya, Maulana Abdul Aziz cicit dari Imam Ja’far Sidiq sebagai Sultan pertama Kerajaan Perlak pada tahun 840 M.

Maka jelaslah kebohongan Teori Gujarat yang dipopulerkan Snouck bersama antek-anteknya. Karena ternyata Islam berkembang sejak awal abad ke VII Masehi, lebih awal 600 tahun dari yang dikemukakan Teori Gujarat Snouck. Selanjutnya diharapkan para cendekiawan Muslim dapat mengadakan penelitian yang lebih mendalam lagi tentang sejarah masuknya Islam di Nusantara, terutama Aceh sebagai serambi Mekkah.(Hilmy Bakar | www.acehinstitute.org)


Jumat, April 25, 2008

Tongkat Kemanusiaan Nabi Musa

Oleh : Muzakhir Rida

Saat Musa menerima bertemu Allah di lembah Thuwa, diangkat menjadi Rasul, pneyelamat bangsa Israil dan memberikan peringatan kepada Firaun dan Haman. Maka Musa dibekali dengan mukjizat yaitu tangan yang dapat bersinar terang juga tongkat yang selama ini berguna dalam kerjanya sebagai penggembala dapat berubah menjadi ular yang nyata.

Disaat itu juga Musa meminta Allah juga mengangkat Harun sebagai Rasul, karena kefasihan Harun dalam berdiplomasi dan menerangkan sesuatu. Musa menyadari bahwa dia memerlukan orang yang seperti Harun dalam dakwahnya. Musa tahu yang dihadapi bukan sekedar tiran yang bebal. Tetapi seorang raja yang memiliki peradaban maju dan paling moderen di zaman itu yang didukung oleh Haman dan para cerdik cendikia lainnya. Musa pernah tinggal di istana Firaun, tentu saja mengetahui bagaimana sistem yang mendukung kerajaan Firaun sehingga bertahan dari generasi ke generasi. Mesir bertahan bukan karena bala tentara-nya tetapi adalah kepemilikan mereka terhadap pengetahuan.

Dan Kami wahyukan kepada Musa dan saudaranya: "Ambillah olehmu berdua beberapa buah rumah di Mesir untuk tempat tinggal bagi kaummu dan jadikanlah olehmu rumah-rumahmu itu tempat shalat dan dirikanlah olehmu sembahyang serta gembirakanlah orang-orang yang beriman". (QS Yunus 87). Demikianlah strategi Musa memasuki kembali ibukota Mesir saat itu, Musa tidak langsung menemui Firaun, tetapi lebih dahulu kembali kepada masyarakatnya yaitu bangsa Israil yang hidup di lokasi-lokasi yang telah dikhususkan buat mereka sebagai budak bangsa Mesir. Menyadarkan masyarakat Israil untuk membangun sebuah peradaban baru (tamaddun tauhid) itulah yang lebih utama dilakukan. Sebagian dari mereka juga telah tenggelam dalam paganisme dan pasrah dengan perbudakan Mesir. Padahal mereka itu datang ke Mesir pada zaman Yusuf dan menjadi tulang punggung kebangkitan bangsa Mesir. Setelah tauhid telah bersemi kembali dan konsep hijrah untuk membangun tamaddun telah menjadi ide bersama bangsa Israil barulah Musa meminta Firaun membebaskan mereka.

Saya khusus ingin membahas tentang tongkat Musa ini. Sebagaimana fungsi tongkat umumnya, selama ini dipakai untuk berjalan, mengecek sesuatu dibalik semak belukar, alat pertahanan, menjangkau sesuatu, alat jemuran, juga dapat dijadikan sandaran jika lelah berjalan. Memang banyak fungsinya dari sepotong kayu lurus itu, termasuk bahkan bisa juga jadi tempat jemur pakaian atau juga mengibarkan spanduk demo. Begitulah fungsi tongkat menjadi alat manusia sejak kehidupan purba dimulai. Kehadiran tongkat ini dalam dakwah Musa juga mengisyaratkan kita untuk mempergunakan sebuah peralatan yang multi fungsi dan memiliki efek berantai.

Dalam kisah Musa tongkat itu menunjukan mukjizat yang bukan hanya berubah menjadi ular saja, tetapi juga dapat memancarkan air dan membelah lautan. Hal ini dapat dilihat sebagai berikut dalam peristiwa berikut :

  • Firaun menantang Musa dengan menghadapkan Musa kepada para ahli sihirnya. Tongkat Musa berubah menjadi ular yang sebenarnya dan menelan ular-ular sihir yang sebenarnya hanya tipuan mata. Mengetahui bahwa tongkat nabi Musa menjadi ular “benaran” bukan tipuan, para ahli sihir itu kemudian menjadi beriman dan tetap beriman walaupun mereka disiksa dengan kejam oleh Firaun.

Kekuasaan para Firaun sebenarnya sangat dibantu oleh ahli-ahli sihir, yang mengelabui rakyat dengan doktrin palsu dan ilusi. Rakyat dinina bobokkan, ataupun diteror dengan penipuan licik. Sesungguhnya Firaun itu takut dengan rakyat yang ditindasnya. Ahli sihir moderen juga banyak, mereka berprofesi sebagai ekonom, ustadz, pendeta, politisi dan lain-lain. Mereka menyodorkan tipu daya dan ilusi bagi kita. Teori-tori ekonomi dibuat untuk mengesahkan agar asset negara hanya dikuasai oleh segelintir orang. Seperti teori trickle down effect yang kemudian memperkaya Suharto dan konglomerat Cina-nya.

Firaun, Karun dan Haman moderen menggunakan teori sihirnya untuk menyodorkan hutang yang seakan-akan lunak dan mampu dibayar. Juga seperti halnya Teori sihir Revolusi Hijau yang diyakinkan untuk membasmi kelaparan dunia ketiga ternyata tidak lebih dari strategi gurita kapitalisme industri kimia yang kini semakin menyengsarakan petani. Mereka kini juga menampilkan ilsusi bahwa hanya dengan menjual asset negara akan menyelamatkan BUMN dan menghapus hutang, bukankah itu sihir IMF yang mesti ditanda tangani sebagai syarat agar dunia dapat membantu Indonesia dalam menghadapi krisis moneter 1998. Sudah hampir 10 tahun LOI itu ditanda tangani maka sudah sampai manakah bantuan itu?

Maka oleh tongkat Musa moderen harus dapat menelan sihir itu semua, dengan menampilkan fakta bukan teori lagi. Fakta yang menyebabkan para ahli sihir itu tercengang dan beriman. Muhammad Yunus Grameen Bank Bangladesh telah menelan sihir ekonomi itu, dia membalikkan teori dan menciptakan paradoks dengan memberikan kredit kepada pengemis. Dunia terperangah dan memberikannya nobel, seluruh aktifis dunia kini pun beriman dan bergiat ala Yunus untuk mengatasi kemiskinan.

“Kemudian Musa melemparkan tongkatnya maka tiba-tiba ia menelan benda-benda palsu yang mereka ada-adakan itu” (QS Asy Syu’araa 45)

  • “Dan mereka Kami bagi menjadi dua belas suku yang masing-masingnya berjumlah besar dan Kami wahyukan kepada Musa ketika kaumnya meminta air kepadanya: "Pukullah batu itu dengan tongkatmu!". Maka memancarlah daripadanya duabelas mata air. Sesungguhnya tiap-tiap suku mengetahui tempat minum masing-masing. Dan Kami naungkan awan di atas mereka dan Kami turunkan kepada mereka manna dan salwa. (Kami berfirman); "Makanlah yang baik-baik dari apa yang telah Kami rezkikan kepadamu". Mereka tidak menganiaya Kami, tetapi merekalah yang selalu menganiaya dirinya sendiri.” (QS Al ‘Araaf 160)

Batu adalah tempat yang paling terakhir akan kemungkinan adanya sumber air. Tapi dengan pukulan tongkat Musa maka mengalirlah 12 mata air untuk 12 kabilah bani Israil. Maka demikian pula tongkat “Musa Moderen”, tongkat itu harus bisa menghasilkan sumber kehidupan bagi masyarakat didaerah yang paling tandus, yang paling miskin sumber daya alam dan sumber daya manusia.

Mata air adalah simbol dari sustainable (keberlanjutan), jadi efek tongkat Musa Moderen bukan bantuan karitatif seperti halnya manna dan salwa itu. Musa Moderen harus bisa menimbulkan ke swadayaan pada batu dan padang pasir.

Satu mata air untuk satu kabilah, itu berarti bahwa ada isyarat untuk mengelola sumber kehidupan itu secara bersama. Ada yang menggelitik dari makna jumlah kabilah itu, perlu diteliti lebih lanjut berdasarkan apa pembagian kabilah itu? Dan jika di Indonesia maka berapa kabilah kah kita berdasarkan akar rumpun besarnya?

Jika mata air itu sebagai simbol kehidupan, modal dan alat produksi, maka tongkat nabi Musa moderen haruslah dapat menciptakan keberagaman kehidupan dari setiap mata air sehingga tidak terjadi persaingan daripada kabilah-kabilah itu.

  • “Lalu Kami wahyukan kepada Musa: "Pukullah lautan itu dengan tongkatmu". Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar.” (QS As Syu’araa’ 63)

Tidak tahan dengan berbagai adzab yang dijatuhkan Allah SWT kepada Firaun dan kaumnya. Maka Firaun pun melepaskan bangsa Israil untuk keluar dari Mesir. Tapi Firaun tetap tidak rela, dia merasa bahwa ini adalah soal kalah menangnya dengan Musa. Raja Mesir yang perkasa kalah oleh budaknya sendiri. Maka dia pun mengejar Musa dan rombongannya itu. Sebelumnya Mesir telah menyembelih seluruh anak laki-laki Israil, maka kini apa susahnya untuk membantai mereka semuanya dengan tentaranya yang perkasa dan bersusun seperti paku itu.

Maka dikejarlah Musa sampai ditepi Lautan Merah, sementara Musa tidak punya perahu untuk bisa menyeberang, apalagi untuk rombongan yang sedemikian besar itu. Maka Allah mewahyukan Musa agar memukul tongkatnya untuk membelah laut, memberikan jalan dan menutup kembali saat Firaun ingin melintas dilaluan yang sama. Firaun-nya dan tentaranya tewas, mayat Firaun ditemukan, dibalsem dan kemudian ditemukan kembali dalam pencarian di abad 20.


Musa telah diberikan sebuah tongkat yang luar biasa, sebuah mukjizat yang dapat mengubah sebuah keadaan. Sementara Firaun adalah musuh yang nyata, penentang Allah, keji, brutal, sombong dan keras kepala. Bukankah Firaun yang membantai bangsa Israil, melakukan genocide, mengkhianati dan memperbudak mereka. Lalu kenapa dalam situasi kritis itu kenapa Musa tidak berbalik saja menghadapi Firaun dan bala tentaranya dan membelah kepala mereka dengan tonngkatnya itu?


Inilah makna sejati dari tongkat Musa itu. Tongkat itu bukan tongkat untuk membunuh tapi adalah tongkat untuk menyelamatkan kehidupan, membuka jalan dan tonggak dasar pembangunan peradaban baru. Bukan tongkat untuk membalas dendam. Dengan kekuatan untuk menyelamatkan kemanusiaan maka lautan pun terbelah membuka jalan.

Maka tongkat merupakan peralatan penting dari komunitas pembebas. Kita perlu mencari tongkat tersebut dalam berbagai bentuknya, apakah itu berwujud organ, lembaga, program dan lain lain yang bisa menghasilkan fungsi-fungsi seperti tongkat sang Kalimullah itu.

Keharusan eksodus dan hijrah juga penting dalam membangun dasar peradaban baru. Karena peradaban baru yang kita bangun harus mempunyai “jarak” dengan imperium-imperium kafir yang mengitari kita. Jika tidak maka dominasi pengetahuan, tekhnologi, militer, budaya dari imperium kafir akan mempengaruhi peradaban baru yang ingin dibangun Musa.

Saya sendiri menafsirkan tongkat itu sebagai zakat, infaq dan sedekah ummat Islam. Dan kami dari LAZNAS BMT (Lembaga Amil Zakat Nasional Baitul Maal wat Tamwil) telah 10 tahun telah mengembangkan Lembaga Keuangan Mikro Syariah yang meramu konsep Grameen Bank Bangladesh dengan konsepsi bagi hasil dan mendorong pengumpulan zakat. Lebih lanjut LKMS/BMT ini diharapkan akan menjadi basis untuk dipergunakannya kembali Dinar-Dirham sebagai alat tukar komunitas Islam di Indonesia bahkan dunia.

Langkah ini tentu saja tidak dekat dan tidak mudah, demikian jugalah eksodus bangsa Israil itu. Melewati padang pasir, dikhianati diantara mereka sendiri, tergoda, pengecut, tergesa-gesa dan lain sebagainya. Sehingga Musa pun sampai akhirnya tidak dapat menuntaskan misi-nya dalam membangun tamaddun itu. Lama kemudian lahirlah Thalut dan Daud yang baru dapat membawa mereka masuk dan mendirikan kerajaan Israil, tetapi kegemilangan barulah dicapai pada Sulaiman.

Belajar pemberdayaan pada Kidrh ‘alaihissalam

Oleh : Muzakhir Rida


”Dan (kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung.” (QS An Nisaa’ 164).

Musa AS adalah nabi yang paling banyak kisahnya diriwayatkan dalam Al-Quran. Mungkin Allah SWT memang menjadikan Musa sebagai inspirasi bagi Muhammad dan kita dalam menegakkan Islam. Keistimewaan Musa antara lain bahwa Allah secara langsung bercakap-cakap dengannya sehingga beliau disebut juga sebagai Kalimullah.

Dari sekian banyak peristiwa penting dalam kisah Musa dan hijrahnya bangsa Israil, maka dalam tulisan ini khusus saya akan coba menguraikan peristiwa Musa di kader oleh Kidhr AS sebagaimana yang difirmankan dalam QS Al Kahfi 60 – 82. Ada beberapa point yang perlu kita ingat dalam ayat-ayat itu yaitu sebagai berikut :

  • Musa mencari Kidrh bersama seorang muridnya Yusya bin Nun. Disini harus menjadi kesadaran bagi kita semua bahwa sangat penting bagi kita untuk membimbing seseorang (kader) walaupun disaat itu kita sendiri masih perlu bimbingan dari orang lain. Walaupun kader kita itu terkadang membuat kita khilaf dan tergoda setan.
  • Sabar adalah syarat yang ditetapkan oleh Kidrh jika Musa ingin menimba ilmunya. Ilmu Kidhr sangat spesifik, yaitu ilmu hikmah. Akhir-akhir ini pengertian tentang ilmu hikmah ini mengalami degradasi. Seakan-akan hikmah itu baru kita ketahui setelah peristiwa itu terjadi. Banyak ayat dalam Al Quran menyatakan bahwa para nabi selain diberikan Al Kitab juga diberikan ilmu hikmah. Ilmu itulah yang menjadi bagi para nabi dalam menjelaskan makna Al Quran dan konteksnya dalam pembangunan peradaban. Inilah ilmu tertinggi yang harus bisa dicapai seorang muslim, yaitu ilmu yang dapat melihat apa yang akan terjadi, antisipasi dan solusinya dan yang paling penting adalah bagaimana menemukan inti kebenaran-Nya.

Selanjutnya dalam proses belajar ini kita semua sudah mengetahui kisah yang populer itu yaitu sebagai berikut :

  • Kidrh melobangi perahu yang ditumpanginya. Dengan alasan bahwa ”Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera” (QS Al Kahfi 79)

Adapun yang menjadi penafsiran saya terhadap peristiwa ini adalah Perahu itu adalah simbol alat produksi rakyat miskin. Yang hanya mampu menghasilkan hanya untuk melanjutkan kehidupan. Alat produksi masyarakat miskin tidak pernah bermaksud untuk berubah menjadi kapitalisme (alat pengumpul modal dan penghisapan sumber daya). Tetapi jumlah alat-alat ekonomi kerakyatan itu jika di total akan melampui modal dari seluruh kapitalis manapun, dan yang lebih penting dia tahan banting. Tahan dengan aksi teror moneter, tidak terkait dengan penguasaan kapitalis global seperti yang telah ditunjukkan oleh UKM di Indonesia saat krisis moneter dulu. Dengan bertahannya alat produksi rakyat maka bertahan pula negeri-negeri dari penjajahan kapitalis global.

Hal itulah yang menyebabkan para Karun, Firaun dan Haman secara terus menerus berusaha melakukan take over dan akusisi tehadap alat-alat produksi oarng miskin. Sehingga orang miskin tergantung dengan dan konsumtif dengan hasil produk mereka. Orang miskin menjadi tidak independent dan menjadi buruh di pabrik mereka yang akan dibayar murah.

Data menunjukkan bahwa setiap tahunnya 8 trilyun rupiah dana rakyat di pedesaan dihisap ke Jakarta melalui pipa-pipa kapitalisme yang bernama Bank Rakyat Indonesia. Dana tersebut hanya 10% dikembalikan lagi ke pedesaan dalam kredit, yang tentu saja melalui prosedur berlapis dan bunga komersial. Tapi ironisnya, dana milik desa itu dengan mudah dikemplang konglomerat hitam dengan bisnis fiktif di Jakarta.

Lihatlah bagaimana strategi Mahatma Gandhi memerdekakan India, caranya adalah dengan tidak membeli kain produksi tekstil dari Inggris tetapi adalah menenun sendiri kain mereka dengan alat yang dioperasikan oleh tangan dirumah tangga mereka. Saat itu rakyat India menjadi semakin miskin karena pakaian mereka tergantung dari produk impor. Tindakan ini memukul industri tekstil Inggris, karena konsumen terbesar mereka saat itu adalah India. Tindakan kedua Gandhi adalah membuat garam dapur sendiri, yang juga dengan tekhnologi sederhana, hal ini juga menimbulkan pukulan terhadap Inggris. Gandhi menunjukkan kepada Imperium Inggris bahwa orang India lah yang mampu mengontrol India bukan Inggris.

Dalam ilmu Kidrh, jika kapitalisme masuk desa dan lingkungan kita maka kita harus segera melindungi alat produksi rakyat kita dari akusisi yang selalu mengiming-imingkan keuntungan - tapi yang lebih sering proses take over itu berlangsung dengan sangat kejam dan biadab. Karena sesungguhnya take over itu akan memiskinkan kita. Menyebabkan kita kehilangan kemandirian dan kebebasan. Lebih baik kita berpura-pura bahwa alat produksi itu rusak, toh khan bisa kita betulkan lagi, coba berlobang sedikit atau idle selama sang kapitalis meruyung-ruyung disekeliling desa. Yang perlu kita lakukan adalah cuma berpuasa beberapa hari sampai raja lalim itu berlalu setelah bosan melihat kita miskin.

  • Kidrh membunuh seorang anak yang dianggap Musa masih berjiwa bersih. Alasan Kidrh adalah ”Dan adapun anak itu maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mu'min, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran” (QS Al Kahfi 80)

Saya sering menfasirkan hal ini adalah hal yang menyangkut pendidikan. Anak kaum mukmin yang lambat laun berubah sejalan dengan usia dan pengalaman bahkan dengan secara pasti melupakan asal usul-nya serta secara menyakinkan dapat mendorong orangtua juga ikut kafir dan sesat bersamanya.

Anak-anak adalah masa depan orangtuanya, sanak saudaranya, desa-nya dan negaranya. Kaum mukmin yang merasa dirinya bodoh dan kampungan, merasa perlu menyekolahkan anaknya keluar dari kampung, keluar dari kabupaten, ke jakarta bahkan keluar negeri. Anak-anak kita kemudian dididik dengan orang yang asing dengan kebudayaan asal kita, yang mempengaruhinya dengan tata cara hidup mereka dan peradaban mereka. Terkadang memang kita yang mendorong anak-anak kita agar menjadi lebih moderen dengan parameter asing. Tetapi yang lebih sering ”orang asing” lah yang menjemput anak-anak kita untuk dididik disekolah-sekolah mereka. Kemudian orang asing itu jugalah yang menawarkan posisi kerja di perusahaan-perusahaan mereka yang menggurita di negara dunia kampungan ini. Mereka pun berobah menjadi agen asing yang membantu mereka ”memundurkan” negeri ini.

Anak-anak kita menjadi orang asing, menyesatkan orang tua mereka dengan ilmu manjemen kapitalisme yang mengatakan koperasi adalah kampungan, investasi pada emas dan tanah adalah ketinggalan jaman dan lebih baik berinvestasi pada bursa saham. Anak-anak kita menukar emas dengan uang kertas yang kemudian mengalami inflasi. Kemudian anak-anak asing kita mengatakan bahwa zakat adalah tidak fair karena orang harus mendapat semua hasil dari kerja kerasnya sendiri. Dan semua kekayaannya berasal dari usahanya sendiri.

Coba lihat para Haman negeri kita ini, bagaimana prilaku dan pandangan mereka sebelum dan setelah mereka bersekolah dinegeri-negeri barat. Mereka pulang dan kemudian mengatakan Jihad itu tidak perlu dan ayat-ayat Quran perlu diratifikasi, bahwa Partai Islam No, bahwa kebebasan berekspresi secara bugil juga adalah Hak Azasi. Waria pun bakal punya wakilnya di Komnas HAM. Anak-anak kita yang dididik asing akan berubah menjadi Haman dan mendorong ibu pertiwinya menjadi sesat jalannya dan kafir dengan agamanya.

  • Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu". (QS Al Kahfi 77). Yang kemudian di jawab Kidrh dengan alasan yaitu ”Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya" (QS Al Kahfi 82)

Yang sering kita tak sadari bahwa apa yang sedang diekspresikan oleh penduduk sebuah negeri merupakan cerminan dari situasi yang berlangsung saat itu. Coba lah kita berpergian ke Aceh zaman sebelum operasi militer dan setelah operasi militer. Sebelumnya orang Aceh adalah memuliakan tamu, mereka selalu memaksa tamunya untuk makan bersama keluarganya, tapi saat berlangsung dan setelah operasi militer. Orang Aceh bagaikan curiga, takut, tertutup dan tidak lagi membiarkan musafir dan orang asing masuk kedalam rumah dan pikiran mereka. Seperti halnya situasi negeri-negeri lain yang berlangsung situasi represif, mereka kemudian menjadi membisu dan kehilangan kegembiraan acara perjamuan.

Musa tidak menyadari bahwa mereka sedang dibawa Kidrh menyusuri lorong-lorong sebuah negeri yang tengah berlangsung sebuah sistem yang lalim, penguasa kapitalisme dan represif. Musa berprasangka negatif bahwa ”dingin”nya masyarakat negeri itu karena adat budayanya memang demikian. Paulo Freire mengatakan bahwa sikap dingin itu adalah ciri masyarakat tertindas, karena situasi represif sehingga masyarakatnya menjadi diam membisu, acuh, tidak partisipatif dan kehilangan hak-hak demokratisnya. Sub merged to the culture of silence.

Musa adalah bekas anak angkat penguasa paling perkasa di zaman itu yaitu Firaun, Musa ditakdirkan membawa sebuah bangsa yang menjadi budak untuk membangun sebuah peradaban. Tentu saja lah Kidrh tidak mengenalkan Musa pada kemewahan Istana tetapi Kidrh mengajarkan Musa pada masyarakat tertindas dan miskin. Kidrh mengajarkan Musa dengan Sistem Pendidikan Hadap Masalah, seperti teori pendidikan Freire untuk masyarakat tertindas pada abad 20 ini.

Kesalahan lain Musa adalah melihat bahwa negeri itu tidak partisipatif sehingga lebih baik mengambil upah saja dan mengabaikan mereka. Kidrh melihat yang lain, yaitu itulah ciri masyarakat tertindas yang mana sesungguhnya mereka adalah kekayaan dan modal semua pembangunan peradaban baru. Lihatlah bagaimana nabi-nabi membangun peradaban dan masyarakat baru mereka, bukankah semua mereka berasal dari golongan yang paling lemah diantara masyarakat mereka. Bukankah penentang-penentang mereka berasal dari bangsawan dan kaum kapitalisme mereka. Kidrh merasa perlu menanamkan investasi untuk berkomunikasi dan memberikan bantuan karitatif sebagai jalan masuknya (entry point).

Simbol masyarakat lemah itu juga adalah adanya anak yatim itu. Selemah-lemahnya anak dalam masyarakat adalah anak yatim. Tapi dari situlah Kidrh menunjuk Musa darimana harus memulai titik perjuangannnya. Anak yatim bisa dikatakan terputus dari pengaruh orang tuanya yang mungkin jadi manusia pragmatis juga karena pengaruh ketertindasannya. Pengaruh selain orang tua tetap saja dipandang sebagai pengajaran orang luar. Begitu juga lah kita dalam membangkitkan harta terpendam dibalik dinding dinding rumah anak yatim itu. Pengalaman saya, sangat sukar bagi kita membangkitkan ide perjuangan para aktifis yang sudah bekerja di alumninya, ataupun yang sudah berkarir diorganisasinya. Maka carilah ”anak-anak yatim” itu disekitar kita, mereka umunya menjadi ”yatim” karena mereka punya prinsip saleh orang tuanya atau almamaternya sehingga tidak ada yang mau ”mengadopsi” mereka. Didiklah mereka secara konsisten, sehingga harta terpendam yang disebut kesalehan itu menjadi modal dan penggerak utama tamaddun ini.

”Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi), dan akan Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi dan akan Kami perlihatkan kepada Fir`aun dan Haman beserta tentaranya apa yang selalu mereka khawatirkan dari mereka itu” (QS Al Qashash 5-6)